HADITS
AHKAM: PEMINANGAN DAN MAHAR DALAM ISLAM
Makalah ini
diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah Hadits Ibadah dan Ahkam pada Prodi
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakutas Ushuluddin
Dosen
Pengampu:
Sandi
Santosa, M. Si.
Disusun oleh:
Ayi Syahfitri
|
11150340000277
|
PRODI
ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS
USHULUDDIN
UIN
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018
Bismillahirrahmanirrahim...
Alhamdulillahirabbil’alamin...segala puji syukur hanya bagi Allah. Tidak ada daya dan
upaya selain dari-Nya. Semoga kita selalu dilimpahkan rahmat dan karunia-Nya
dalam mengarungi kehidupan ini. Shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada
Nabi Muhammad SAW. Beserta keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikutinya
sampai akhir zaman dimanapun mereka berada.
Alhamdulillah dengan izin dan kehendak dari-Nya, sehingga
makalah ini dapat kami selesaikan. Makalah ini berjudul “HADITS
AHKAM: PEMINANGAN DAN MAHAR DALAM ISLAM”. Semoga makalah ini dapat dijadikan acuan dalam
meteri-materi yang terkait dengan apa yang kami bahas ini.
Harapan penulis kepada pembaca yaitu agar makalah ini
dapat menambah wawasan pengetahuan, memahami hal-hal yang berkaitan dengan “HADITS
AHKAM: PEMINANGAN DAN MAHAR DALAM”,
dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal tersebut. Kami sadar bahwa
makalah ini jauh dari kata sempurna oleh karena itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang dapat membangun untuk penyusunan makalah yang sempurna
pada masa yang akan datang.
Ciputat, 25 Oktober 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
Latar Belakang
BAB
II PEMBAHASAN
A. PEMINANGAN (Khitbah)
1.
Pengertian
Peminangan (khitbah)
2.
Dasar
Hukum Khitbah
3.
Perempuan
yang Boleh di Khitbah
4.
Jenis
Khitbah
5.
Proses
Khitbah
6.
Tujuan
Khitbah
7.
Hal-hal
yang perlu dipahami ketika melakukan Khitbah
8.
Hikmah
Khitbah
9.
Pembatalan
Khitbah
B. MAHAR
1. Pengertian Mahar
2. Dasar Hukum Mahar
3.
Sifat,
Bentuk, jenis dan Nilai mahar
4.
Kadar Mahar dalam hadis
5. Macam-macam Mahar
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Kita ketahui bahwa ketentuan hidup berpasang-pasangan merupakan pembawaan
naluriah manusia dan makhluk hidup lainnya bahkan segala sesuatu yang
diciptakan Allah Swt. berjodoh-jodoh. Hal itu merupakan salah satu dari
penyebab Islam menganjurkan kita untuk melakukan perkawinan. Perkawinan amat
penting dalam kehidupan manusia, dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan
laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia
sebagai makhluk yang berkehormatan.
Khitbah merupakan pendahuluan transaksi nikah menurut tradisi ahli syara’.
Syari’at Islam menghendaki pelaksanaan pranikah (peminangan) untuk
menyingkap kecintaan kedua pasang manusia yang akan mengadakan transaksi nikah,
agar dapat membangun keluarga yang didasarkan pada kecintaan yang mendalam.
Dari keluarga inilah muncul masyarakat yang baik yang dapat melaksanakan
syariat Allah dan sendi-sendi ajaran agama Islam yang lurus.
Menikah
adalah salah satu sunnah Rasulullah SAW. Sejak dahulu hingga kini ritual ini
tetap dilakukan oleh manusia. Bila seorang lelaki merasa cocok untuk mengarungi
kehidupan bersama seorang perempuan yang dicintainya, pernikahan adalah
solusinya. Tapi apakah bila merasa cocok mereka langsung menikah? Tidak adakah
kewajiban lain sebelum menikah? Apa menikah hanya ditentukan oleh perasaan
cinta, suka maupun setia?
Makalah
singkat yang kami susun ini akan membahas tentang peminangan, yaitu sebuah
prosesi awal sebelum menginjak kepada jenjang pernikahan. Prosesi yang
melibatkan calon mempelai beserta wali-walinya. Peristiwa yang bertujuan untuk
saling mengenal agar lebih erat tali persaudaraan dan timbul rasa cinta untuk
saling hidup bersama.
Dalam
makalah kami ini juga akan membahas tentang mahar yang menjelaskan tentang
tanda jadi serta kafa’ah atau keserasian dan kesamaan.
Harapan
kami, pembahasan tentang peminangan dan mahar ini semoga menjadi titik awal
dari pembahasan-pembahasan selanjutnya dalam mata kuliah Hadis Ibadah dan Ahkam
ini dan menjadi pelajaran bagi kita semua yang hendak melaksanakan salah satu
sunnah Rasulullah ini, yaitu pernikahan.
BAB II
PEMBAHASAN
Kata
“peminangan” berasal dari kata “pinang, meminang” (kata kerja). Meminang atau
melamar dalam bahasa Arab disebut “khitbah”. Secara etimologi, meminang
atau melamar artinya meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri
atau orang lain). [1]
Secara terminologi, khitbah adalah penrnyataan permintaan untuk menikah
dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan
dengan perantaraan seseorang yang dipercayai maupun secara langsung
tanpa perantara.[2]
Menurut
Mahmud Al Mashri khitbah ialah meminta seorang wanita untuk menikah
dengan cara dan media yang biasa dikenal di masyarakat.[3]
Meminang
di dalam Islam bukan tanpa alasan melainkan dilakukan atas dasar firman Allah Swt
dan sunnah Nabi Saw, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 235;
وَلَا
جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا عَرَّضۡتُم بِهِۦ مِنۡ خِطۡبَةِ ٱلنِّسَآءِ أَوۡ
أَكۡنَنتُمۡ فِيٓ أَنفُسِكُمۡۚ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمۡ سَتَذۡكُرُونَهُنَّ
وَلَٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّآ أَن تَقُولُواْ قَوۡلٗا
مَّعۡرُوفٗاۚ وَلَا تَعۡزِمُواْ عُقۡدَةَ ٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ ٱلۡكِتَٰبُ
أَجَلَهُۥۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ
فَٱحۡذَرُوهُۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٞ
“Dan tidak
ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa
kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan
janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada
mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk
beraqad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah
mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah
bahwa Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” (Qs. Al Baqarah
[2]: 235).
Di
dalam hadits disebutkan:
حَدَّثَنَا يُونُسُ
بْنُ مُحَمَّدٍ[4]
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ[5]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ[6]
عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ[7]
عَنْ وَاقِدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدِ
بْنِ مُعَاذٍ[8]
عَنْ جَابِرٍ[9]
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ
أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا
يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ قَالَ فَخَطَبْتُ جَارِيَةً مِنْ بَنِي سَلِمَةَ
فَكُنْتُ أَخْتَبِئُ لَهَا تَحْتَ الْكَرَبِ حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا بَعْضَ مَا دَعَانِي
إِلَى نِكَاحِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا
"Telah bercerita
kepada kami Yunus bin Muhammad telah bercerita kepada kami Abdul Wahid bin
Ziyad telah bercerita kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Daud bin Al Husain
dari Waqid bin Abdurrahman bin Sa'd bin Mu'adz dari Jabir berkata; Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika kalian meminang seorang
wanita, jika memungkinkan bisa melihat dari (wanita tersebut) sesuatu yang
membuatnya tertarik untuk menikahinya, maka lakukanlah". (Jabir bin
Abdullah radliyallahu'anhuma) berkata; lalu saya meminang seorang wanita dari
Bani Salamah dan saya bersembunyi di bawah semak-semak pelepah kurma hingga
saya dapat melihat darinya sesuatu yang membuatku tertarik untuk menikahinya
kemudian saya menikahinya." (HR. Muslim).
Namun
demikian khitbah bukanlah syarat sah nikah, dengan atau tanpa khitbah
nikah tetap sah. Mazhab syafi’i berpendapat bahwa khitbah hukumnya mustahab
(dianjurkan) karena hal ini dilakukan oleh Rasulullah Saw terhadap Aisyah binti
Abi Bakar dan Hafsah binti Umar r.a. [10]
Hukum
peminangan dibagi menjadi tiga, yaitu:
1)
Mubah/boleh : khitbah wanita yang belum ada
niat kuat (positif) bagi laki-laki untuk melangsungkan pernikahan.
2)
Sunnah : Khitbah wanita yang
sudah ada niat kuat untuk dilangsungkan pernikahan, karena untuk menjaga agar
jangan timbul penyesalan dibelakang hari.
3)
Haram : Khitbah wanita yang sudah di
khitbah oleh laki-laki lain, atau masih dalam idah raj’i. [11]
Adapun
perempuan yang boleh dipinang adalah perempuan yang memenuhi syarat sebagai
berikut.
a. Tidak Dalam pinangan orang lain
Meminang
pinangan orang lain itu hukumnya haram, sebab berarti menghalangi hak dan
menyakiti hati peminang pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan dan
mengganggu ketentraman. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Saw.:
“Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin
Harb dan Muhammad bin Al Mutsanna sedangkan lafazhnya dari Zuhair, keduanya
berkata; Telah menceritakan kepada kami Yahya dari 'Ubaidillah telah
mengabarkan kepadaku Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, beliau bersabda" [13]: "Janganlah seseorang menjual barang yang telah dijual
kepada saudaranya dan janganlah meminang perempuan yang telah dipinang
saudaranya, kecuali jika mendapatkan izin darinya. (HR. Muslim)
Imam
An-Nawawi berkata: “Hadits ini mengharamkan secara tegas meminang pinangan orang
lain. Para ulama juga sepakat, bahwa jika jawaban telah diberikan kepada si
peminang, sementara si peminang belum memastikan menikah atau meninggalkan
pinangannya, orang tak boleh maju meminang wanita yang sama.
[14]
b. Pada waktu dipinang, perempuan tidak ada
halangan dan larangan untuk menikah.
Jika
perempuan sedang idah karena talak raj’i, ia haram dipinang,
karena masih ada ikatan dengan mantan suaminya, dan suaminya itu masih berhak
merujuknya kembali sewaktu-waktu ia suka. [16]
d. Apabila perempuan dalam masa idah
karena talak ba’in[17],
hendaklah meminang dengan cara sirry (tidak terang-terangan). [18]
Jika
perempuan sedang idah karena talak ba’in maka ia haram dipinang
secara terang-terangan karena mantan suaminya masih tetap mempunyai hak
terhadap dirinya juga, masih mempunyai hak untuk menikahinya dengan akad baru. Perempuan yang belum kawin atau yang telah habis masa
iddahnya boleh dipinang dengan ucapan sindiran atau secara tidak langsung.
Jika seorang perempuan ditinggal wafat oleh suaminya
maka seorang laki-laki tidak boleh
melamarnya secara terang-terangan, karena ia masih dalam keadaan sedihatas kematian orang yang dicintainya, Namun
seseorang bisa melamarnya secara kinayah
selama masa iddahnya, jika masa
iddahnya telah berlalu maka ia boleh melamarnya secara terang-terangan. Seperti
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw ketika melamar ummu salamah r.a, yang ketika itu masih dalam
keadaan iddah atas
kematian suaminya, abu salamah. Beliau mengatakan kepada ummu
salamah,
engkau mengetahui bahwa saya
adalah seorang Rasulallah Saw., dan sebaik-baik rasul, dan engkau juga mengetahui kedudukanku diantara kaumku, ini merupakan ucapan kinayah bahwa beliau
ingin melamarnya.
Dari
kejadian proses khitbah yang terjadi di zaman Nabi maupun dalam perkembangannya
di saat sekarang ini, dapat dilihat bahwa khitbah terdiri dari dua jenis yaitu:
a.
Secara
langsung; pinangan dilakukan dengan permintaan yang lugas dan tanpa perantara. seperti ucapan,”saya berkeingininan untuk menikahimu”.
b.
Secara
tak langsung; pinangan dilakukan dengan permintaan dengan bahasa kiasan atau
sindiran, baik diucapkan sendiri maupun dengan perantaraan orang lain. [19]
Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan maksud lain, seperti ucapan ”tidak ada orang yang
tidak sepertimu”, adapun sindiran
selain ini yang dapat dipahami oleh wanita bahwa laki-laki tersebut berkeinginan menikah dengannya, maka semua diperbolehkan. Diperbolehkan juga bagi
wanita untuk menjawab
sindiran itu dengan kata-kata yang berisi sindiran juga.
Khitbah
bukanlah hal baru dalam Islam, pelaksanaan khitbah ini jauh sudah terjadi di
zaman Rasulullah Saw, kala itu sahabat beliau, Abdurrahman bin ‘Auf yang
meng-khitbah Ummu Hakin binti Qarizh. [20]
Kisah sahabat Nabi ini diabadikan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari:[21]
“Abdurrahman bin
‘Auf berkata kepada Ummu Hakim binti Qarizh: Maukah kamu menyerahkan urusanmu
kepadaku?” Ia menjawab Baiklah!”, maka ia (Abdurrahman bin ‘Auf) berkata: kalau
begitu, baiklah kamu saya nikahi.”” (HR. Bukhari)
Menurut
Muhammad Thalib, kejadian ini menunjukkan seorang laki-laki boleh meminang
langsung calon istrinya tanpa didampingi oleh orangtua atau walinya dan
Rasulullah Saw tidak menegur atau menyalahkan Abdurrahman bin ‘Auf atas kejadian ini.[22]
Selain itu, seorang wanita juga diperbolehkan untuk meminta seorang laki-laki
agar menjadi suaminya, akan tetapi ia tidak boleh ber-khalwat atau
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam.[23]
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin al Miqdam,
telah menceritakan kepada kami Fudlail bin Sulaiman, telah menceritakan kepada
kami Abu Hazim, telah menceritakan kepada kami Sahl bin Sa’d, ia berkata: Suatu
ketika kami duduk di sisi Nabi Saw, lalu datang seorang wanita yang hendak
menawarkan dirinya kepada Rasulullah Saw, maka Rasulullah pun memandangi wanita
itu dengan cermat namun beliau belum juga memberikan jawaban. (HR.
Bukhari).
Adapun
salah satu tujuan di syariatkannya khitbah ialah agar masing-masing
pihak dapat mengetahui calon pendamping hidupnya, [25] dan
juga agar perkawinan itu sendiri berjalan atas pemikiran yang mendalam dan
mendapat hidayah.[26]
Dalam
bukunya al-ahwal al-sakhsiyyah, abu zahrah menyatakan bahwa tujuan
peminangan tidak lain adalah sebagai ajang bahwasanya pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan dapat
saling melihat antara pihak perempuan dengan pihak laki-laki agar tidak terjadi
suatu penyesalan, karena dikatakan bahwa melihat merupakan cara terbaik untuk
mengetahui akan suatu hal.
Yang penting dari tujuan peminangan ditinjau secara
umum adalah: Pertama, lebih mempermudah dan memperlancar jalannya masa
perkenalan antara pihak meminang dan yang dipinang beserta dengan keluarga
masing-masing. Hal ini dikarenakan tak
jarang bagi pihak peminang atau yang dipinang sering salah atau kurang dewasa
dalam menjalani proses pengenalan kepada calon pendampingnya. Kedua,
supaya diantara
keduanya rasa cinta dan kasih lebih cepat tumbuh.
Ketiga,
menimbulkan efek ketentraman jiwa dan kemantapan hati bagi pihak yang akan
menikahi atau yang akan dinikahi dan tanpa adanya pihak-pihak yang mendahului.
Karena
khitbah merupakan bagian dari syari’at agama, dan juga hukumnya
dianjurkan dan diperbolehkan maka perlu diperhatikan beberapa hal agar
pelaksanaan khitbah tidak melanggar ketentuan syari’at agama. Diantara
hal-hal yang perlu diperhatikan disaat melakukan khitbah adalah:
a.
Diperbolehkan
melihat wanita yang di khitbah
Anjuran
melihat wanita yang akan dipinang terdapat dalam sebuah hadits Nabi Saw:
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ
بْنُ سُلَيْمَانَ هُوَ الْأَحْوَلُ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْمُزَنِيِّ عَنْ
الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ أَنَّهُ خَطَبَ امْرَأَةً فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ
بَيْنَكُمَا[27]
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani',
telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Za`idah berkata; Telah menceritakan
kepadaku 'Ashim bin Sulaiman Al Ahwal dari Bakr bin Abdullah Al Muzani dari Al
Mughirah bin Syu'bah, dia meminang seorang wanita. Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Lihatlah dia! karena hal itu akan lebih
melanggengkan perkawinan kalian berdua." (HR. At-Tirmidzi).
Jumhur
ulama berpendapat bagian yang boleh dilihat hanyalah bagian yang bisa
diperbolehkan untuk diperlihatkan oleh seorang wanita, yaitu wajah dan telapak
tangan. [28]
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو السَّوَّاقُ الْبَلْخِيُّ حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَعِيلَ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُسْلِمِ بْنِ هُرْمُزَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَسَعِيدٍ ابْنَيْ
عُبَيْدٍ عَنْ أَبِي حَاتِمٍ الْمُزَنِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ
فَأَنْكِحُوهُ إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ قَالُوا
يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ قَالَ إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ
وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ[30]
"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Amr bin As Sawwaq Al
Balkhi, telah menceritakan kepada kami Hatim bin Isma'il dari Abdullah bin
Muslim bin Hurmuz dari Muhammad dan Sa'id anak laki-laki 'Ubaid, dari Abu Hatim
Al Muzani berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika
seseorang datang melamar (anak perempuan dan kerabat) kalian, sedang kalian
ridha pada agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak kalian
lakukan, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan." Para
shahabat bertanya; "Meskipun dia tidak kaya." Beliau bersabda:
"Jika seseorang datang melamar (anak perempuan) kalian, kalian ridha pada
agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Beliau mengatakannya tiga kali"[31] (HR. At Tirmidzi)
Jika
seseorang telah dilamar maka dirinyalah yang berhak untuk menerima atau menolak
calon suaminya, izin dari wanita yang dilamar mutlak diperlukan supaya tidak
terjadi pernikahan yang tidak disukai.
Dalam
memberikan persetujuan antara seorang gadis dengan seorang yang pernah menikah
(janda) sedikit berbeda, untuk seorang gadis persetujuannya adalah diam,
sementara seorang janda bisa menentukan dirinya sendiri tanpa diminta. [32]
Hal ini tergambar dalam hadits Nabi : [33]
“ “Telah
menceritakan kepada kami Sa'id bin Manshur dan Qutaibah bin Sa'id keduanya
berkata; Telah menceritakan kepada kami Malik Dan diriwayatkan dari jalur lain,
telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya sedangkan lafazhnya dari dia (Yahya),
dia berkata; Saya bertanya kepada Malik; Apakah Abdullah bin Fadll pernah
menceritakan kepadamu dari Nafi' bin Jubair dari Ibnu Abbas bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: "Seorang janda lebih
berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan anak gadis harus di mintai izin
darinya, dan izinnya adalah diamnya"? Dia menjawab; "Ya." (HR.
Muslim).
Khitbah
memang merupakan sarana untuk dapat saling mengenal lebih jauh satu sama lain
dengan cara yang ma’ruf. Dan tidak boleh melakukan yang lebih dari itu, karena
akan jatuh pada perbuatan yang dilarang agama. Bahkan untuk bertemu berdua pun
sangat dilarang oleh agama karena akan menjerumuskan pada perbuatan yang haram.
Hikmah
diperbolehkannya melihat dulu wanita yang ingin dipinang adalah agar jiwa
merasa tenang untuk maju ke jenjang pernikahan, biasanya hal ini akan dapat
melestarikan hubungan dan mempersatukan dalam ikatan cinta dan kasih sayang
yang kokoh. [34]
Pembatalan
khitbah di masyarakat kita memang masih dianggap tabu, hina, bahkan
menyakitkan yang kadang menimbulkan gejolak kebencian diantara yang meng-khitbah
dan yang di khitbah. Tak jarang malah kadang-kadang melibatkan
orang-orang disekitar khitbah itu sendiri. Hal ini karena sesungguhnya
khitbah belum difahami secara mendasar tentang fungsi dan tujuannya.
Pembatalan
khitbah harus dilakukan sebagaimana mengawali khitbah, dilakukan
dengan cara yang ma’ruf dan tidak menyalahi ketentuan syara’.
Dalam membatalkan khitbah, hal yang perlu diperhatikan adalah adanya
alasan-alasan syar’i yang membolehkan pembatalan tersebut terjadi,
diantaranya ditemukannya kekurangan dari salah satu calon yang bersifat fatal
dan sulit untuk diperbaiki, seperti memiliki penyakit yang menular dan
membahayakan, tidak mau diajak berubah dari akhlak dari prilaku yang buruk dan
melanggar syari’at, atau memiliki kelainan seksual, serta alasan-alasan
lain yang dapat menghambat keberlangsungan rumah tangga nantinya apabila
berbagai kekurangan tersebut ternyata sulit untuk diubah.
Berdasar
alasan-alasan yang tidak syar’i, maka pembatalan khitbah tidak
boleh dilakukan, karena hal itu hanya akan menyakiti satu sama lain dan
merupakan ciri dari orang-orang yang munafik, karena telah menyalahi janji
untuk menikahi pihak yang di khitbah-nya.
Dengan
adanya pembatalan khitbah tidak menyebabkan apa yang telah
diberikan mutlak harus dikembalikan,
karena sesungguhnya apa yang telah diberikan saat melangsungkan khitbah
merupakan hadiah, maka hadiah mutlak menjadi milik penerima, tidak ada alasan untuk
mengambil hadiah yang telah diberikan sekalipun atas dasar putusnya khitbah.
Dalam
syari’at ajaran agama Islam pemberian apapun yang diberikan saat khitbah
baik berupa pemberian cincin dan sejenisnya merupakan hadiah atas dasar
kesukaan, tidak boleh diminta kembali saat khitbah dibatalkan. [35]
Larangan dalam mengambil kembali hadiah yang telah diberikan telah disampaikan
oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya:
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَزِيدُ يَعْنِي ابْنَ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ
الْمُعَلِّمُ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَابْنِ
عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِيَ عَطِيَّةً أَوْ
يَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعَ فِيهَا إِلَّا الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِي وَلَدَهُ وَمَثَلُ
الَّذِي يُعْطِي الْعَطِيَّةَ ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَأْكُلُ
فَإِذَا شَبِعَ قَاءَ ثُمَّ عَادَ فِي قَيْئِهِ[36]
“Telah
menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yazid bin
Zurai' telah menceritakan kepada kami Husain Al Mu'allim dari 'Amru bin Syu'aib
dari Thawus dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, beliau bersabda: "Tidak halal bagi seorang laki-laki yang
memberi suatu pemberian kemudian mengambilnya kembali, kecuali orang tua mengambil
apa yang ia berikan kepada anaknya. Dan permisalan orang yang memberi suatu
pemberian kemudian mengambilnya seperti anjing yang makan, maka setelah kenyang
ia muntah kemudian menelan muntahannya kembali.". (HR.
Abu Dawud)
Disaat
pembatalan khitbah terjadi maka kedua belah pihak harus memasrahkan
segala urusannya kepada Allah Swt., semata dan memohon kebaikan dari apa yang
telah terjadi dan yang telah Allah persiapkan dikesempatan yang lain.
Mahar
dalam istilah Arab disebut ash-shadaaq yang berasal dari kata ash-shidq.
Secara etimologi mahar artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah suatu
pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam
bentuk benda maupun jasa (memerdekakan,
mengajar, dan lain sebagainya) [37]
sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi
seorang istri kepada calon suaminya.[38] Kata mahar memiliki delapan nama
yang terangkum dalam bait syair, yaitu:
Syafi’iyyah mengartiakan mahar yaitu
kewajiban suami sebagai syarat untuk memperoleh manfa’at dari istri (istimta’).[41]
Hukum islam mendudukkan perempuan
sebagai makhluk terhormat dan mulia,
maka diberikan hak untuk menerima mahar, bukan pihak yang sama-sama memberi
mahar.
[42]
Mahar merupakan salah satu hak yang diwajibkan al Qur’an untuk diberikan kepada
seorang wanita (yang dinikahi).[43]
Allah Swt berfirman di dalam al-Qur’an:
وَآتُوا
النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ
نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Artinya:“Dan
berikanlah maskawin atau (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian yang kamu kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebgian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah
pemberian itu dengan senang hati”. (Qs. Al-Nisa [4]:4).
Hanya wanita yang bersangkutan sajalah
yang memiliki hak penuh untuk mempergunakan mahar tersebut, sebab mahar
merupakan harta kepemilikan khusus baginya yang bisa dia pergunakan pada
sesuatu yang menurutnya baik tanpa ada campur tangan dari siapapun.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa mahar
atau maskawin itu hukumnya adalah wajib. Namun bukan termasuk dari bagian rukun
perkawinan.[44]
Adapun landasan yang digunakan dalam penentuan kewajiban mahar ini adalah salah
satu ayat dalam Alquran surat An-Nisa’ [4]: 4. Menurut ketetapan dalil dari
ijma’ itu menyatakan bahwa para ulama’ telah bersepakat bahwa mahar wajib
hukumnya tanpa adanya ikhtilaf, ketetapan
itu di sepakati oleh para ulama’, baik ulama’ generasi pertama Islam
hingga masa sekarang.
Para ulama’ sepakat bahwa mahar wajib
diberikan oleh suami kepada istrinya, baik kontan ataupun dengan cara tempo.
Pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam akad
pernikahan dan tidak dibenarkan menguranginya. Jika suami menambahnya, hal itu
lebih baik dan sebagai shodaqoh, yang
dicatat sebagai mahar secara mutlak yang jenis dan jumlahnya, sesuai akad
nikah.[45]
Mahar tidak ada batas besar kecilnya,
terserah pada persetujuan calon suami dengan calon istri, dan suami wajib
membayar sebesar yang disebutkan dalam ijab qabul, andaikata pelunasan mahar
ditunda/tidak kontan.
a. Wajib,
baik tunai maupun utang
b. Wajib
membayar seperdua jika terjadi perceraian sebelum campur (bersetubuh).
c. Wajib,
jika terjadi cerai mati sebelum campur, maka istrinya berhak sepenuh jumlah
mahar yang diambil dari harta peninggalan suaminya.
[46]
Dewasa ini di Indonesia biasanya mahar dilaksanakan
dengan memberikan sebuah Al-Qur’an atau seperangkat mukena untuk sholat. Disamping
itu terkadang dibarengi juga dengan sekedar perhiasan cincin untuk istri.
Menurut ketentuan Deptartemen Agama mahar dibuat sedemikian ringannya sehingga
tidak menghalangi perkawinan, misalnya sebanyak Rp.25,- (dua puluh lima rupiah).
Ini tidak berarti menghinakan perempuan yang akan dikawini itu malahan untuk
kebaikan secara umum anggota masyarakat Islam di Indonesia.[47]
Mahar juga boleh berupa uang, perabotan rumah tangga, binatang, jasa, harta perdagangan, atau benda-benda
lainnya yang mempunyai harga.[48]
Adapun syarat-syarat yang boleh
dijadikan mahar adalah sebagai berikut:
1)
Harta
berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada
ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap sah
disebut mahar.
2)
Barangnya
suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan memberikan khamr, babi,
bangkai, atau darah karena semua itu haram dan tidak berharga.
3)
Barang
tersebut milik sendiri secara kepemilikan penuh bukan barang ghasab[49],
dalam artian memiliki dzatnya termasuk manfaatnya, jika hanya salah satu saja ,
maka mahar tersebut tidak sah.
4)
Bukan
barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang
yang tidak jelas keadaanya, atau tidak disebutkan jenisnya.
Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan
atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Namun dalam
hal ini disunahkan membayar kontan sebagian, berdasarkan sabda Nabi Saw:
أَخْبَرَنَا
عَمْرُو بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ قَالَ
حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ
عَلِيًّا قَالَ تَزَوَّجْتُ
فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنِ بِي قَالَ
أَعْطِهَا شَيْئًا قُلْتُ مَا عِنْدِي مِنْ شَيْءٍ قَالَ فَأَيْنَ دِرْعُكَ
الْحُطَمِيَّةُ قُلْتُ هِيَ عِنْدِي قَالَ فَأَعْطِهَا إِيَّاهُ
"Telah
mengabarkan kepada kami 'Amr bin Manshur, ia berkata; telah menceritakan kepada
kami Hisyam bin Abdul Malik, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Hammad
dari Ayyub dari 'Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa Ali berkata; Dahulu saat saya
akan menikahi Fathimah radliallahu 'anha, saya berkata; wahai Rasulullah,
tolong Fatimah serumahtanggakan denganku, beliau bersabda: "Baik, Berilah
ia sesuatu", saya berkata; saya tidak memiliki sesuatu, beliau bersabda:
"Dimanakah baju zirahmu yang anti pedang itu?, " saya menjawab ia ada
padaku, beliau bersabda: "Berikan padanya." (HR. An Nasa’i)
Dalam hal penundaan pembayaran mahar (diutang),
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih. Perbedaan pendapat tersebut
karena pernikahan itu dapat disamakan dengan jual beli dalam hal penundaan,
atau tidak dapat disamakan dengannya.[50]
Meski
dalam Islam tidak disebutkan batas minimal mahar, namun syari’at Islam
menekankan dan memerintahkan agar kaum wanita
memberi kemudahan dalam persoalan mahar. Rasulullah Saw bersabda:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ
سَلَمَةَ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ الطُّفَيْلِ بْنِ سَخْبَرَةَ عَنْ الْقَاسِمِ
بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَعْظَمَ النِّكَاحِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُ مُؤْنَةً
“Telah menceritakan kepada kami
Affan berkata; telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah berkata; telah
mengabarkan kepadaku Ibnu Thufail bin Sakhirah, dari Al-Qasim bin Muhammad,
dari Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. bersabda:
"Sesungguhnya pernikahan yang paling barakah adalah yang paling ringan
maharnya." (HR. Ahmad).
Mahar
tidak harus berbentuk emas, perak, uang atau permata yang mahal harganya, tapi
boleh juga berbentuk barang seperti seperangkat alat sholat, cincin, atau
Al-Qur’an dengan syarat maskawin dari pihak suami dan jumlahnya tergantung
kemampuan calon suami dan atas persetujuan pengantin wanita.[51]
Mukhtar Kamal menyebutkan, “Janganlah hendaknya ketidak sanggupan membayar
maskawin karena besar jumlahnya menjadi penghalang bagi berlangsungnya suatu perkawinan”.[52]
Sesuai dengan sabda Nabi Saw:
حَدَّثَنَا
الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي حَازِمِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ
السَّاعِدِيِّ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ وَهَبْتُ نَفْسِي لَكَ فَقَامَتْ قِيَامًا طَوِيلًا
فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ زَوِّجْنِيهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ بِهَا
حَاجَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ عِنْدَكَ
مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا إِيَّاهُ فَقَالَ مَا عِنْدِي إِلَّا إِزَارِي هَذَا فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ إِنْ أَعْطَيْتَهَا إِزَارَكَ
جَلَسْتَ وَلَا إِزَارَ لَكَ فَالْتَمِسْ شَيْئًا قَالَ لَا أَجِدُ شَيْئًا قَالَ فَالْتَمِسْ
وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ فَالْتَمَسَ فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا فَقَالَ لَهُ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلْ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ شَيْءٌ قَالَ
نَعَمْ سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا لِسُوَرٍ سَمَّاهَا فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
"Telah
menceritakan kepada kami Al Qa'nabi dari Malik dari Abu Hazim bin Dinar dari
Sahl bin Sa'd As Sa'idi bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam didatangi
oleh seorang wanita seraya berkata; wahai Rasulullah, aku menghibahkan diriku
kepadamu. Kemudian wanita tersebut berdiri lama, lalu terdapat seorang
laki-laki yang berdiri dan berkata; wahai Rasulullah, nikahkan aku dengannya
apabila engkau tidak butuh kepadanya. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam berkata: "Apakah kamu memiliki sesuatu yang dapat kamu berikan
kepadanya sebagai mahar?" Orang tersebut berkata; aku tidak memiliki
sesuatu kecuali sarungku ini. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Apabila kamu memberikan sarungmu, maka kamu akan telanjang dan kamu tidak
memiliki sarung, carilah sesuatu!" Orang tersebut berkata; aku tidak
mendapatkan sesuatu. Beliau berkata: "Carilah (yang lain) walaupun hanya
sebuah cincin besi!" Kemudian orang tersebut mencari dan tidak mendapatkan
sesuatu pun. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata
kepadanya: "Apakah engkau hafal sebagian dari Al Qur'an?" Orang
tersebut berkata; ya, surat ini dan surat ini. Ia menyebutkan surat yang telah
ia hafal. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya:
"Aku telah menikahkanmu dengan apa yang engkau miliki (hafal) dari Al
Qur'an."
(HR. Abu Dawud)
Dalam kasus ini surat atau bagian dari al-Qur’an yang dihafal oleh laki-laki tersebut dapat
dianggap sebagai maharnya. Namun hadis tersebut harus dipahami seutuhnya. Hadis
tidaklah meniadakan mahar minimum, artinya tidak harus mahar yang kecil dan
harus yang besar, akan tetapi tergantung kesanggupan pihak pengantin laki-laki
atau persetujuan kedua belah pihak. Dengan demikian riwayat tentang mahar
cincin besi bukan berarti perintah untuk memberikan mahar serupa kepada istri.
Namun, sahabat tersebut tergolong orang yang kurang mampu,tetapi meskipun
demikian, Rasulallah mengharuskan calon suami walau hanya sebatas kemampuan.
Mengenai besar mahar, para fuqoha sepakat bahwa bagi
mahar itu tidak ada batas tertinggi, namun mereka berselisih pendapat tentang
batas rendahnya. Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqoha Madinah dari
kalangan tabi’in berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala
sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar.
Sebagian fuqoha yang lain berpendapat bahwa mahar
itu ada batas rendahnya. Mereka mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit
seperempat dinar emas murni , atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan
barang yang sebanding berat emas perak tersebut. Imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham.[53]
a.
Mahar
Mitsil, adalah mahar yang diukur
(sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh
dan tetangga sekitarnya, dengan mengingat status sosial, kecantikan dan
sebagainya. [54]
Akad nikah tetap sah jika dilakukan tanpa menyebut jumlah mahar, sebab mahar
bukan merupakan syarat atau rukun nikah.
b.
Mahar
Musamma,adalah mahar yang dinyatakan
kadarnya pada waktu akad nikah.
BAB III
PENUTUP
Sedikit
kesimpulan dari kami bahwa :
·
Peminangan
adalah proses pernyataan ingin membina rumah tangga antara dua orang, lelaki
dan perempuan, yang dilakukan sebelum pernikahan. Baik melalui wali ataupun
secara langsung.
·
Tidak
ada dasar yang jelas dan spesifik tentang suruhan peminangan. Oleh karena itu
kebanyakan dari ulama menyatakan hukumnya mubah, walaupun diantara mereka ada
yang mewajibkannya dengan mengatakan bahwa pinangan adalah tradisi Nabi.
·
Hikmah
dari pinangan adalah wadah perkenalan dan penguat ikatan dalam memulai
kehidupan baru dengan menikah.
·
Peminangan
ada dua macam, secara langsung maupun tidak langsung. Pembagian ini tergantung
keadaan orang yang dipinang.
mahar
adalah maskawin, yaitu suatu pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak
perempuan disebabkan terjadinya pernikahan. Pemberian mahar ini hukumnya wajib
bagi laki-laki.
Oleh
karena itu,meminang dan mahar adalah sangat berkaitan erat bila mana seseorang
yang sudah memenuhi syarat untuk menikah maka sepatutnya dia melihat
pinangannya dan menyiapkan maharnya (mengadakan kesepakatan). Demikian makalah
yang dapat kami persembahkan ambillah sedikit ilmu dari makalah ini dan
amalkanlah ilmu itu sebanyak mungkin.
Demikinlah makalah yang dapat
penulis susun, penulis sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan,
maka kritik dan saran yang membangun sangat
kami harapkan demi membangun perbaikan dan pengembangan. Dan semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan kita dan semoga bermanfaat Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Tihami & Sohari
Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2009), Ed. 1.
M. Abdul Mujieb,
Mabruri Thalhah, Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: PT Pustaka
Firdaus, 1995), Cet. 2
Zurinal.
Z dan Amnudin,
fiqih ibadah, jakarta: Lembaga
penelitian universitas islam Syarif Hidayatullah,
2008
Kamal Mukhtar, Asas-asas
Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974
Nurjannah, Mahar
Pernikahan, Yogyakarta: Prima Shopi, 2003
Muhammad Jawad
Mughniyah, Fiqih Lima Madzab, Jakarta: Penerbit Lentera, 2007
Muhammad Zuhaily, Fiqih
Munakahat Kajian Fiqih Pernikahan dalam Perspektif Madzhab Syafi’i, terj.
Mohammad Kholison, Surabaya: CV. Imtiyaz, 2013
Beni Ahmad Saebani,
Fiqh Munakahat, Bandung: CV. PUSTAKA SETIA, 2001
Abdul al Qadir Manshur,
Fiqh al Mar’ah al Muslimah min al Kitab wa al Sunnah, diterjemahkan oleh
Muhammad Zaenal Arifin, Buku Pinta Fikih Wanita; segala hal yang ingin anda
ketahui tentang perempuan dalam hukum Islam, Jakarta: Zaman, 2012
Abdurrahman
Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madhab
Al-Arba’ah, (Beirut : Dar Al-Fikr,tth), Cet. IV
Sayyid Ahmad
Al-musayyar, Islam Bicara Soal Seks, Percintaan dan Rumah Tangga, (Kairo
Mesir: Erlangga, 2008
Muhammad Utsman Al
Khasyt, Fiqh Al Nisa fi Dou’il Mazahib Al Arba’ah wa al Ijtihadati al
Fiqhiyyah al Ma’ashiroh, Terj. oleh Abu Nafis Ibnu Abdurrohim, Fikih
Wanita Empat Mazhab; Mengupas tuntas berbagai permasalahan seputar hukum fikih
setiap muslimah dalam kehidupan sehari-hari, (Bandung: Ahsan Publishing,
2010), Cet. 1,
Abi Dawud Sulaiman bin
al Asy’as As Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Bait al Ifkar Ad Dauliyyah,
202-275 H
M. Abdul Mujieb,
Mabruri Thalhah, Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: PT Pustaka
Firdaus, 1995), Cet. 2
Tihami & Sohari
Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2009), Ed. 1
Muhammad bin Ismail
Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam Syarh Bulugl Maram, (Jakarta: Darus
Sunnah, 2015), Jilid 2
M. Dahlan R, Fikih
Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1
Muhammad Fu’ad Abdul
Baqi, Shahih Muslim; al-Musnad al-Shahih Salasumi’atin alfa Haditsin
Matmu’atin, (Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1991
Abi ‘Isa Muhammad bin
‘Isa bin Sawroh At-Turmudzi, Al-Ma’ruf bi Jami’ At-Turmudzi, (Bait
al-Afkar Ad-Dawliyyah
M. Dahlan R, Fikih
Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1
Sayyid Sabiq, Fiqh
al Sunnah, terjemahan Nor Hasabuddin, Fikih Sunnah, (Jakarta: Pena
Pundi Aksara, 2006), Juz.2
Sirajuddin, Khitbah;
lamaran, diakses dari http://ssarifin.blogspot.com/2015/12/khitbah-lamaran.html,
pada tanggal 02 November 2018, pukul 22:44.
Abi ‘Isa Muhammad bin
‘Isa bin Sawroh At-Turmudzi, Al-Ma’ruf bi Jami’ At-Turmudzi, (Bait
al-Afkar Ad-Dawliyyah
Hidayatullah qorib,
skripsi pergaulan laki-laki
dan perempuan selama masa bhekalan, (malang: 2010
Muhammad Thalib, 15
Tuntunan Meminang Dalam Islam, (Bandung: Irsyad Baitussalam, 2002
Syamsuddin Ramadhan, Fikih
Rumah Tangga Pedoman Membangun Keluarga Bahagia, (Bogor: Ide Pustaka, 2004
Abu Abdillah Abdu
al-Salam bin Muhammad bin Umar ‘Alawiy, al-Jami’ al-Shahih al-Musnad min
Hadtsi Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi, (Riyadh: Maktabatu Rusyd, 2006
Al Imam Abi Al Husein
Muslim ibn Al Hajjaj Al Qusyairi An Naisaburi, Shahih Muslim, Kitab:
Jual beli, Bab :Larangan seseorang melakuan transaksi jual beli atas transaksi
orang lain, (Beirut: Dar al Kutub al Alamiyah
Liduwa, Muslim, Kitab : Jual beli, Bab
:Larangan seseorang melakuan transaksi jual beli atas transaksi orang lain, No.
Hadist : 2787
Mahmud Al Mashri, Al Zawaj Al Islam
Al Sa’id, diterjemahkan oleh Iman Fidaus, Bekal Pernikahan,
(Jakarta: Qisthi Press, 2011
[1] Tihami & Sohari Sahrani, Fikih
Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Ed.
1,h. 24.
[2] M. Dahlan R, Fikih Munakahat,
(Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 10
[3]
Mahmud Al
Mashri, Al Zawaj Al Islam Al Sa’id, diterjemahkan
oleh Iman Fidaus, Bekal Pernikahan, (Jakarta: Qisthi Press, 2011), h.
289.
[4] Nama
lengkapnya ialah Yunus bin Muhammad bin Muslim, kalangan tabi'ut tabi'in
kalangan biasa, kuniyahnya Abu Muhammad, Negeri semasa hidup yaitu Baghdad,
Wafat pada tahun 207 H. Komentar para ulama, 1). Yahya bin Ma'in:
Tsiqah, 2). Abu Hatim: Shaduuq, 3). Ibnu Hibban: disebutkan dalam
'ats tsiqaat.
[5]
Nama lengkapnya Abdul Wahid bin
Ziyad, kalangan tabi'ut tabi'in kalangan pertengahan, kuniyahnya Abu Bisyir,
negeri semasa hidup Bashrah, wafat pada tahun 176 H. Komentar para ulama, 1). Abu Hatim: tsiqah,
2). An Nasa'i: laisa bihi ba`s, 3). Ad Daruquthni: tsiqah ma`mun,
4). Abu Daud: Tsiqah.
[6] Nama lengkapnya Muhammad bin Ishaq
bin Yasar, kalangan : tabi'in kalangan biasa, kuniyahnya ialah Abu Bakar, negeri
semasa hidup Madinah, wafat pada tahun 150 H. Komentar para ulama, 1). Ahmad bin
Hambal: Hasanul Hadits, 2). Ibnu Madini: shalih Wasath, 3). Ibnu
Hajar al 'Asqalani: shaduuq Yudallis.
[7] Nama lengkapnya Daud bin Al Hushain,
kalangan tabi'in (tdk jumpa Shahabat), kuniyahnya Abu Sulaiman, negeri semasa
hidup Madinah, wafat pada tahun 135 H. Komentar para ulama, 1). Yahya bin Ma'in:
Tsiqah, 2). Abu Zur'ah: layyin, 3). Abu Hatim: laisa bi qowi,
4). An Nasa'i: Laisa bihi ba's.
[8] Nama lengkapnya Waqid bin 'Abdur
Rahman bin Sa'ad, kalangan tabi'ut tabi'in kalangan tua. Komentar para ulama,
1). Ibnu
Hibban: disebutkan dalam 'ats tsiqaat, 2). Ibnu Hajar al 'Asqalani: majhul,
3). Adz Dzahabi: Tsiqah.
[9] Nama lengkapnya Jabir bin 'Abdullah
bin 'Amru bin Haram, kalangan Shahabat, kuniyahnya Abu 'Abdullah, negeri semasa
hidup Madinah, wafat pada tahun 78 H.
[10] M. Dahlan R, Fikih
Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 12-13.
[11] M. Abdul Mujieb, Mabruri
Thalhah, Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: PT Pustaka
Firdaus, 1995), Cet. 2, h. 162.
[12]Al Imam Abi Al Husein Muslim ibn
Al Hajjaj Al Qusyairi An Naisaburi, Shahih Muslim, Kitab: Jual beli, Bab
:Larangan seseorang melakuan transaksi jual beli atas transaksi orang lain,
(Beirut: Dar al Kutub al Alamiyah), h. 1154.
[13] Liduwa, Muslim,
Kitab : Jual beli, Bab :Larangan seseorang melakuan transaksi jual beli atas
transaksi orang lain, No. Hadist : 2787
[14] M. Dahlan R, Fikih Munakahat,
(Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 15-16. Lihat juga Imam An
Nawawi, Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Daar al Fikr, 1984), Juz. 3, h.
569.
[15]
Yaitu talak yang dijatuhkan
suami kepada istrinya yang telah dicampurinya dan masih dalam masa idah sebagai
talak satu atau talak dua, maka suami boleh rujuk kepada istrinya tanpa akad
nikah yang baru, tanpa persaksian, dan tanpa mahar baru pula. Lihat Tihami
& Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Ed. 1, h. 243-244.
[16] Tihami & Sohari Sahrani, Fikih
Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Ed.
1, h. 30.
[17] Yaitu talak yang memisahkan sama
sekali hubungan suami istri atau disebut talak tiga. Ada dua macam talak ba’in:
1). talak ba’in shugra yaitu talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari
bekas suaminya, tetapi tidakmenghilangkan hak nikah baru kepada istri bekas
istrinya itu. 2). Talak ba’in kubra yaitu talak yang mengakibatkan
hilangnya hak rujuk kepada bekasistri, walaupun kedua bekas suami istri itu
ingin melakukannya,baik diwaktu idah atau sesudahnya.
[18] Tihami & Sohari Sahrani, Fikih
Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Ed.
1, h. 24-25.
[19] M. Dahlan R, Fikih Munakahat,
(Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 16-17.
[20] M. Dahlan R, Fikih Munakahat,
(Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 17.
[21]
Abu Abdillah Abdu al-Salam
bin Muhammad bin Umar ‘Alawiy, al-Jami’ al-Shahih al-Musnad min Hadtsi
Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi, (Riyadh: Maktabatu Rusyd, 2006), h. 734.
[22] Muhammad Thalib, 15 Tuntunan
Meminang Dalam Islam, (Bandung: Irsyad Baitussalam, 2002), h. 25.
[23]
Syamsuddin Ramadhan, Fikih
Rumah Tangga Pedoman Membangun Keluarga Bahagia, (Bogor: Ide Pustaka,
2004), h. 56.
[24]
Abu Abdillah Abdu al-Salam
bin Muhammad bin Umar ‘Alawiy, al-Jami’ al-Shahih al-Musnad min Hadtsi
Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi, (Riyadh: Maktabatu Rusyd, 2006), h. 734.
[25] M. Dahlan R, Fikih Munakahat,
(Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 10. Lihat juga Syamsuddin
Ramadhan, Fikih Rumah Tangga Pedoman Membangun Keluarga Bahagia, (Bogor:
Ide Pustaka, 2004), h. 49.
[26] Hidayatullah
qorib, skripsi
pergaulan laki-laki dan perempuan selama masa bhekalan, (malang: 2010),
h. 43.
[27]
Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa
bin Sawroh At-Turmudzi, Al-Ma’ruf bi Jami’ At-Turmudzi, (Bait al-Afkar
Ad-Dawliyyah), h. 193.
[28] M. Dahlan R, Fikih Munakahat,
(Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 19-20. Lihat pula, Sayyid
Sabiq, Fiqh al Sunnah, terjemahan Nor Hasabuddin, Fikih Sunnah,
(Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), Juz.2, h. 508.
[29] Sirajuddin, Khitbah; lamaran,
diakses dari http://ssarifin.blogspot.com/2015/12/khitbah-lamaran.html,
pada tanggal 02 November 2018, pukul 22:44.
[30]
Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa
bin Sawroh At-Turmudzi, Al-Ma’ruf bi Jami’ At-Turmudzi, (Bait al-Afkar
Ad-Dawliyyah), h. 192 .
[31]Abu Isa
berkata; "Ini merupakan hadits gharib. Abu Hatim Al Muzani adalah seorang
sahabat, namun tidak kami ketahui dia meriwayatkan hadits dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam selain hadits ini."
[32] M. Dahlan R, Fikih Munakahat,
(Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 21.
[33]
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Shahih
Muslim; al-Musnad al-Shahih Salasumi’atin alfa Haditsin Matmu’atin, (Beirut
Libanon: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1991), h. 1037.
[34] M. Dahlan R, Fikih Munakahat,
(Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 22.
[35] M. Dahlan R, Fikih Munakahat,
(Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 24-27.
[36] Abi Dawud Sulaiman bin al Asy’as
As Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Bait al Ifkar Ad Dauliyyah, 202-275 H),
h. 393.
[37] M. Abdul Mujieb, Mabruri
Thalhah, Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: PT Pustaka
Firdaus, 1995), Cet. 2, h. 184.
[38] Tihami & Sohari Sahrani, Fikih
Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Ed.
1,h. 36.
[39] Muhammad bin Ismail Al-Amir
Ash-Shan’ani, Subulus Salam Syarh Bulugl Maram, (Jakarta: Darus Sunnah,
2015), Jilid 2, h. 706-707.
[40] Al Shadaq adalah turunan
dari kata al Shidq yang artinya jujur dan ikhlas. Disebut al shadaq
karena mahar adalah simbol kejujuran dalam menjatuhkan pilihan kepada perempuan
yang dinikahi dan simbol keikhlasan dalam membangun mahligai rumah tangga
bersamanya. Al Mahr yaitu sesuatu yang diberikan suami kepada istrinya
ketika melangsungkan akad pernikahan. Al Nihlah berarti hadiah yang
diberikan tanpa mengharapkan imbalan. Al Faridhah adalah turunan dari
kata faradha yang berarti menetapkan, mewajibkan, dan menentukan. Bahwa
mahar adalah hak yang wajib ditunaikan oleh suami kepada istri. Al Hiba’
segala sesuatu yang digunakan oleh seseorang untuk memuliakan sahabatnya. al
Hiba’ dalam arti mahar adalah jalan yang ditempuh seorang laki-laki untuk
bisa menemui dan memuliakan teman hidupnya
yaitu istrinya. Al Ujr berarti upah atas suatu pekerjaan, ganti
rugi atas pengambilan manfaat tertentu atau akan memberikan imbalan karena
telah mengambil manfaat dari suatu barang. Di dalam al Qur’an kata al Ujr
disebutkan dalam surat An Nisa [4] ayat 24. Al ‘Uqr berarti inti dari
segala sesuatu. Kata ini digunakan untuk mengungkapkan seberapa besar kemuliaan
seorang perempuan. Al Alaiq adalah segala sesuatu yang elok dan menawan,
yang puncaknya adalah cinta tulus yang mengendap dalam lubuk hati yang
terdalam. Lihat Abdul al Qadir Manshur, Fiqh al Mar’ah al Muslimah min al
Kitab wa al Sunnah, diterjemahkan oleh Muhammad Zaenal Arifin, Buku
Pinta Fikih Wanita; segala hal yang ingin anda ketahui tentang perempuan dalam
hukum Islam, (Jakarta: Zaman, 2012), Cet. 1, h. 237-239.
[41] Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madhab Al-Arba’ah, (Beirut
: Dar Al-Fikr,tth), Cet. IV, h. 94
[42] Sayyid Ahmad Al-musayyar, Islam
Bicara Soal Seks, Percintaan dan Rumah Tangga, (Kairo Mesir: Erlangga,
2008), h. 12.
[43] Muhammad Utsman Al Khasyt, Fiqh
Al Nisa fi Dou’il Mazahib Al Arba’ah wa al Ijtihadati al Fiqhiyyah al
Ma’ashiroh, Terj. oleh Abu Nafis Ibnu Abdurrohim, Fikih Wanita Empat
Mazhab; Mengupas tuntas berbagai permasalahan seputar hukum fikih setiap
muslimah dalam kehidupan sehari-hari, (Bandung: Ahsan Publishing, 2010),
Cet. 1, h. 277.
[44]Muhammad Zuhaily, Fiqih
Munakahat Kajian Fiqih Pernikahan dalam Perspektif Madzhab Syafi’i, terj.
Mohammad Kholison (Surabaya: CV. Imtiyaz, 2013), 235.
[45]Beni Ahmad Saebani, Fiqh
Munakahat, (Bandung: CV. PUSTAKA SETIA, 2001) ,265-266.
[46] M. Abdul Mujieb, Mabruri
Thalhah, Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: PT Pustaka
Firdaus, 1995), Cet. 2, h. 184-185.
[47] Nurjannah, Mahar Pernikahan,
(Yogyakarta: Prima Shopi, 2003), 33
[48] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih
Lima Madzab, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2007), 365.
[49] Ghasab artinya mengambil
barang orang lain tanpa seizinnya namun tidak bermaksud untuk memilikinya
karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Lihat Tihami & Sohari Sahrani,
Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009), Ed. 1,h. 40.
[50] Fuqoha yang mengatakan bahwa
disamakan dengan jual beli berpendapat bahwa penundaan itu tidak boleh sampai
terjadinya kematian atau perceraian. Sedangkan yang mengatakan tidak dapat
disamakan dengan jual beli berpendapat bahwa penundaan membayar mahar itu tidak
boleh dengan alasan bahwa pernikahan itu merupakan ibadah. Lihat Tihami &
Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2009), Ed. 1,h. 45.
[51] Zurinal. Z
dan Amnudin, fiqih ibadah, (jakarta: Lembaga penelitian universitas
islam Syarif Hidayatullah,
2008), h. 218-219
[52] Kamal Mukhtar, Asas-asas
Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 81.
[53]
Tihami & Sohari
Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2009), Ed. 1,h. 42.
[54] M. Abdul Mujieb, Mabruri
Thalhah, Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: PT Pustaka
Firdaus, 1995), Cet. 2, h. 185.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar