Selasa, 13 November 2018

HADITS AHKAM: PEMINANGAN DAN MAHAR DALAM ISLAM


HADITS AHKAM: PEMINANGAN DAN MAHAR DALAM ISLAM
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah Hadits Ibadah dan Ahkam pada Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakutas Ushuluddin
Dosen Pengampu:
Sandi Santosa, M. Si.




Disusun oleh:
Ayi Syahfitri
11150340000277











PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018


Bismillahirrahmanirrahim...
Alhamdulillahirabbil’alamin...segala puji syukur hanya bagi Allah. Tidak ada daya dan upaya selain dari-Nya. Semoga kita selalu dilimpahkan rahmat dan karunia-Nya dalam mengarungi kehidupan ini. Shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Beserta keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikutinya sampai akhir zaman dimanapun mereka berada.
Alhamdulillah dengan izin dan kehendak dari-Nya, sehingga makalah ini dapat kami selesaikan. Makalah ini berjudul “HADITS AHKAM: PEMINANGAN DAN MAHAR DALAM ISLAM”. Semoga makalah ini dapat dijadikan acuan dalam meteri-materi yang terkait dengan apa yang kami bahas ini.
Harapan penulis kepada pembaca yaitu agar makalah ini dapat menambah wawasan pengetahuan, memahami hal-hal yang berkaitan dengan “HADITS AHKAM: PEMINANGAN DAN MAHAR DALAM”, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal tersebut. Kami sadar bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun untuk penyusunan makalah yang sempurna pada masa yang akan datang.

      Ciputat, 25 Oktober 2018

Penyusun

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
BAB II PEMBAHASAN
A.    PEMINANGAN (Khitbah)
1.         Pengertian Peminangan (khitbah)
2.         Dasar Hukum Khitbah
3.         Perempuan yang Boleh di Khitbah
4.         Jenis Khitbah
5.         Proses Khitbah
6.         Tujuan Khitbah
7.         Hal-hal yang perlu dipahami ketika melakukan Khitbah
8.         Hikmah Khitbah
9.         Pembatalan Khitbah
B.     MAHAR
1.      Pengertian Mahar
2.      Dasar Hukum Mahar
3.      Sifat, Bentuk, jenis dan Nilai mahar
4.      Kadar Mahar dalam hadis
5.      Macam-macam Mahar
BAB III  PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran
DAFTAR PUSTAKA

  
BAB I

PENDAHULUAN

Kita ketahui bahwa ketentuan hidup berpasang-pasangan merupakan pembawaan naluriah manusia dan makhluk hidup lainnya bahkan segala sesuatu yang diciptakan Allah Swt. berjodoh-jodoh. Hal itu merupakan salah satu dari penyebab Islam menganjurkan kita untuk melakukan perkawinan. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan.
Khitbah merupakan pendahuluan transaksi nikah menurut tradisi ahli syara’. Syari’at Islam menghendaki pelaksanaan pranikah (peminangan) untuk menyingkap kecintaan kedua pasang manusia yang akan mengadakan transaksi nikah, agar dapat membangun keluarga yang didasarkan pada kecintaan yang mendalam. Dari keluarga inilah muncul masyarakat yang baik yang dapat melaksanakan syariat Allah dan sendi-sendi ajaran agama Islam yang lurus.
Menikah adalah salah satu sunnah Rasulullah SAW. Sejak dahulu hingga kini ritual ini tetap dilakukan oleh manusia. Bila seorang lelaki merasa cocok untuk mengarungi kehidupan bersama seorang perempuan yang dicintainya, pernikahan adalah solusinya. Tapi apakah bila merasa cocok mereka langsung menikah? Tidak adakah kewajiban lain sebelum menikah? Apa menikah hanya ditentukan oleh perasaan cinta, suka maupun setia?
Makalah singkat yang kami susun ini akan membahas tentang peminangan, yaitu sebuah prosesi awal sebelum menginjak kepada jenjang pernikahan. Prosesi yang melibatkan calon mempelai beserta wali-walinya. Peristiwa yang bertujuan untuk saling mengenal agar lebih erat tali persaudaraan dan timbul rasa cinta untuk saling hidup bersama.
Dalam makalah kami ini juga akan membahas tentang mahar yang menjelaskan tentang tanda jadi serta kafa’ah atau keserasian dan kesamaan.
Harapan kami, pembahasan tentang peminangan dan mahar ini semoga menjadi titik awal dari pembahasan-pembahasan selanjutnya dalam mata kuliah Hadis Ibadah dan Ahkam ini dan menjadi pelajaran bagi kita semua yang hendak melaksanakan salah satu sunnah Rasulullah ini, yaitu pernikahan.


BAB II

PEMBAHASAN

Kata “peminangan” berasal dari kata “pinang, meminang” (kata kerja). Meminang atau melamar dalam bahasa Arab disebut “khitbah”. Secara etimologi, meminang atau melamar artinya meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). [1] Secara terminologi, khitbah adalah penrnyataan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan  dengan perantaraan seseorang yang dipercayai maupun secara langsung tanpa perantara.[2]
Menurut Mahmud Al Mashri khitbah ialah meminta seorang wanita untuk menikah dengan cara dan media yang biasa dikenal di masyarakat.[3]

Meminang di dalam Islam bukan tanpa alasan melainkan dilakukan atas dasar firman Allah Swt dan sunnah Nabi Saw, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 235;
وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا عَرَّضۡتُم بِهِۦ مِنۡ خِطۡبَةِ ٱلنِّسَآءِ أَوۡ أَكۡنَنتُمۡ فِيٓ أَنفُسِكُمۡۚ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمۡ سَتَذۡكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّآ أَن تَقُولُواْ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗاۚ وَلَا تَعۡزِمُواْ عُقۡدَةَ ٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ ٱلۡكِتَٰبُ أَجَلَهُۥۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٞ 

 “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” (Qs. Al Baqarah [2]: 235).


Di dalam hadits disebutkan:   
حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ[4] حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ[5] حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ[6] عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ[7] عَنْ وَاقِدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ[8] عَنْ جَابِرٍ[9] قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ قَالَ فَخَطَبْتُ جَارِيَةً مِنْ بَنِي سَلِمَةَ فَكُنْتُ أَخْتَبِئُ لَهَا تَحْتَ الْكَرَبِ حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا بَعْضَ مَا دَعَانِي إِلَى نِكَاحِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا
"Telah bercerita kepada kami Yunus bin Muhammad telah bercerita kepada kami Abdul Wahid bin Ziyad telah bercerita kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Daud bin Al Husain dari Waqid bin Abdurrahman bin Sa'd bin Mu'adz dari Jabir berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika kalian meminang seorang wanita, jika memungkinkan bisa melihat dari (wanita tersebut) sesuatu yang membuatnya tertarik untuk menikahinya, maka lakukanlah". (Jabir bin Abdullah radliyallahu'anhuma) berkata; lalu saya meminang seorang wanita dari Bani Salamah dan saya bersembunyi di bawah semak-semak pelepah kurma hingga saya dapat melihat darinya sesuatu yang membuatku tertarik untuk menikahinya kemudian saya menikahinya." (HR. Muslim).

Namun demikian khitbah bukanlah syarat sah nikah, dengan atau tanpa khitbah nikah tetap sah. Mazhab syafi’i berpendapat bahwa khitbah hukumnya mustahab (dianjurkan) karena hal ini dilakukan oleh Rasulullah Saw terhadap Aisyah binti Abi Bakar dan Hafsah binti Umar r.a. [10]
Hukum peminangan dibagi menjadi tiga, yaitu:
1)        Mubah/boleh        : khitbah wanita yang belum ada niat kuat (positif) bagi laki-laki untuk melangsungkan pernikahan.
2)        Sunnah                 : Khitbah wanita yang sudah ada niat kuat untuk dilangsungkan pernikahan, karena untuk menjaga agar jangan timbul penyesalan dibelakang hari.
3)        Haram                  : Khitbah wanita yang sudah di khitbah oleh laki-laki lain, atau masih dalam idah raj’i. [11]
Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah perempuan yang memenuhi syarat sebagai berikut.
a.    Tidak Dalam pinangan orang lain
Meminang pinangan orang lain itu hukumnya haram, sebab berarti menghalangi hak dan menyakiti hati peminang pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan dan mengganggu ketentraman. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Saw.:
 “Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Muhammad bin Al Mutsanna sedangkan lafazhnya dari Zuhair, keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Yahya dari 'Ubaidillah telah mengabarkan kepadaku Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda" [13]: "Janganlah seseorang menjual barang yang telah dijual kepada saudaranya dan janganlah meminang perempuan yang telah dipinang saudaranya, kecuali jika mendapatkan izin darinya. (HR. Muslim)
Imam An-Nawawi berkata: “Hadits ini mengharamkan secara tegas meminang pinangan orang lain. Para ulama juga sepakat, bahwa jika jawaban telah diberikan kepada si peminang, sementara si peminang belum memastikan menikah atau meninggalkan pinangannya, orang tak boleh maju meminang wanita yang sama. [14]
b.    Pada waktu dipinang, perempuan tidak ada halangan dan larangan untuk menikah.
c.    Perempuan itu tidak dalam masa idah karena talak raj’i[15].
Jika perempuan sedang idah karena talak raj’i, ia haram dipinang, karena masih ada ikatan dengan mantan suaminya, dan suaminya itu masih berhak merujuknya kembali sewaktu-waktu ia suka. [16]
d.   Apabila perempuan dalam masa idah karena talak ba’in[17], hendaklah meminang dengan cara sirry (tidak terang-terangan). [18]
Jika perempuan sedang idah karena talak ba’in maka ia haram dipinang secara terang-terangan karena mantan suaminya masih tetap mempunyai hak terhadap dirinya juga, masih mempunyai hak untuk menikahinya dengan akad baru. Perempuan yang belum kawin atau yang telah habis masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan sindiran atau secara tidak langsung.
Jika seorang perempuan ditinggal wafat oleh suaminya maka seorang laki-laki tidak       boleh melamarnya secara terang-terangan, karena ia masih dalam keadaan sedihatas    kematian orang yang dicintainya, Namun seseorang bisa melamarnya secara kinayah selama masa iddahnya, jika masa iddahnya telah berlalu maka ia boleh melamarnya secara terang-terangan. Seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw ketika melamar ummu salamah r.a, yang ketika itu masih dalam keadaan iddah atas kematian suaminya, abu salamah. Beliau mengatakan kepada ummu salamah, engkau mengetahui bahwa saya adalah seorang Rasulallah Saw., dan sebaik-baik rasul, dan engkau juga mengetahui kedudukanku diantara kaumku, ini merupakan ucapan kinayah bahwa beliau ingin melamarnya.

Dari kejadian proses khitbah yang terjadi di zaman Nabi maupun dalam perkembangannya di saat sekarang ini, dapat dilihat bahwa khitbah terdiri dari dua jenis yaitu:
a.         Secara langsung; pinangan dilakukan dengan permintaan yang lugas dan tanpa perantara. seperti ucapan,”saya berkeingininan untuk menikahimu”.
b.         Secara tak langsung; pinangan dilakukan dengan permintaan dengan bahasa kiasan atau sindiran, baik diucapkan sendiri maupun dengan perantaraan orang lain. [19] Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami          dengan maksud lain, seperti ucapan ”tidak ada orang yang tidak sepertimu”, adapun             sindiran selain ini yang dapat dipahami oleh wanita bahwa laki-laki tersebut             berkeinginan menikah dengannya,  maka semua diperbolehkan. Diperbolehkan juga           bagi wanita untuk menjawab sindiran itu dengan kata-kata yang berisi sindiran juga.
Khitbah bukanlah hal baru dalam Islam, pelaksanaan khitbah ini jauh sudah terjadi di zaman Rasulullah Saw, kala itu sahabat beliau, Abdurrahman bin ‘Auf yang meng-khitbah Ummu Hakin binti Qarizh. [20] Kisah sahabat Nabi ini diabadikan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:[21]

 “Abdurrahman bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim binti Qarizh: Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab Baiklah!”, maka ia (Abdurrahman bin ‘Auf) berkata: kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.”” (HR. Bukhari)

Menurut Muhammad Thalib, kejadian ini menunjukkan seorang laki-laki boleh meminang langsung calon istrinya tanpa didampingi oleh orangtua atau walinya dan Rasulullah Saw tidak menegur atau menyalahkan Abdurrahman bin ‘Auf  atas kejadian ini.[22] Selain itu, seorang wanita juga diperbolehkan untuk meminta seorang laki-laki agar menjadi suaminya, akan tetapi ia tidak boleh ber-khalwat atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam.[23]
Kebolehan ini didasarkan pada sebuah riwayat berikut: [24]

“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin al Miqdam, telah menceritakan kepada kami Fudlail bin Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Abu Hazim, telah menceritakan kepada kami Sahl bin Sa’d, ia berkata: Suatu ketika kami duduk di sisi Nabi Saw, lalu datang seorang wanita yang hendak menawarkan dirinya kepada Rasulullah Saw, maka Rasulullah pun memandangi wanita itu dengan cermat namun beliau belum juga memberikan jawaban. (HR. Bukhari).

Adapun salah satu tujuan di syariatkannya khitbah ialah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon pendamping hidupnya, [25] dan juga agar perkawinan itu sendiri berjalan atas pemikiran yang mendalam dan mendapat hidayah.[26]
Dalam bukunya al-ahwal al-sakhsiyyah, abu zahrah menyatakan bahwa tujuan peminangan tidak lain adalah sebagai ajang bahwasanya pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan dapat saling melihat antara pihak perempuan dengan pihak laki-laki agar tidak terjadi suatu penyesalan, karena dikatakan bahwa melihat merupakan cara terbaik untuk mengetahui akan suatu hal.
Yang penting dari tujuan peminangan ditinjau secara umum adalah: Pertama, lebih mempermudah dan memperlancar jalannya masa perkenalan antara pihak meminang dan yang dipinang beserta dengan keluarga masing-masing. Hal ini  dikarenakan tak jarang bagi pihak peminang atau yang dipinang sering salah atau kurang dewasa dalam menjalani proses pengenalan kepada calon pendampingnya. Kedua, supaya diantara keduanya rasa cinta dan kasih lebih cepat tumbuh. Ketiga, menimbulkan efek ketentraman jiwa dan kemantapan hati bagi pihak yang akan menikahi atau yang akan dinikahi dan tanpa adanya pihak-pihak yang mendahului.

Karena khitbah merupakan bagian dari syari’at agama, dan juga hukumnya dianjurkan dan diperbolehkan maka perlu diperhatikan beberapa hal agar pelaksanaan khitbah tidak melanggar ketentuan syari’at agama. Diantara hal-hal yang perlu diperhatikan disaat melakukan khitbah adalah:
a.         Diperbolehkan melihat wanita yang di khitbah
Anjuran melihat wanita yang akan dipinang terdapat dalam sebuah hadits Nabi Saw:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ سُلَيْمَانَ هُوَ الْأَحْوَلُ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْمُزَنِيِّ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ أَنَّهُ خَطَبَ امْرَأَةً فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا[27]
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani', telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Za`idah berkata; Telah menceritakan kepadaku 'Ashim bin Sulaiman Al Ahwal dari Bakr bin Abdullah Al Muzani dari Al Mughirah bin Syu'bah, dia meminang seorang wanita. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Lihatlah dia! karena hal itu akan lebih melanggengkan perkawinan kalian berdua." (HR. At-Tirmidzi).

Jumhur ulama berpendapat bagian yang boleh dilihat hanyalah bagian yang bisa diperbolehkan untuk diperlihatkan oleh seorang wanita, yaitu wajah dan telapak tangan. [28]
b.         Jangan menolak pinangan Lelaki Shaleh[29]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو السَّوَّاقُ الْبَلْخِيُّ حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَعِيلَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُسْلِمِ بْنِ هُرْمُزَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَسَعِيدٍ ابْنَيْ عُبَيْدٍ عَنْ أَبِي حَاتِمٍ الْمُزَنِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ قَالَ إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ[30]

"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Amr bin As Sawwaq Al Balkhi, telah menceritakan kepada kami Hatim bin Isma'il dari Abdullah bin Muslim bin Hurmuz dari Muhammad dan Sa'id anak laki-laki 'Ubaid, dari Abu Hatim Al Muzani berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika seseorang datang melamar (anak perempuan dan kerabat) kalian, sedang kalian ridha pada agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak kalian lakukan, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan." Para shahabat bertanya; "Meskipun dia tidak kaya." Beliau bersabda: "Jika seseorang datang melamar (anak perempuan) kalian, kalian ridha pada agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Beliau mengatakannya tiga kali"[31] (HR. At Tirmidzi)
c.         Wanita berhak menerima atau menolak khitbah
Jika seseorang telah dilamar maka dirinyalah yang berhak untuk menerima atau menolak calon suaminya, izin dari wanita yang dilamar mutlak diperlukan supaya tidak terjadi pernikahan yang tidak disukai.
Dalam memberikan persetujuan antara seorang gadis dengan seorang yang pernah menikah (janda) sedikit berbeda, untuk seorang gadis persetujuannya adalah diam, sementara seorang janda bisa menentukan dirinya sendiri tanpa diminta. [32] Hal ini tergambar dalam hadits Nabi :  [33]

“Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Manshur dan Qutaibah bin Sa'id keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Malik Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya sedangkan lafazhnya dari dia (Yahya), dia berkata; Saya bertanya kepada Malik; Apakah Abdullah bin Fadll pernah menceritakan kepadamu dari Nafi' bin Jubair dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: "Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan anak gadis harus di mintai izin darinya, dan izinnya adalah diamnya"? Dia menjawab; "Ya." (HR. Muslim).

Khitbah memang merupakan sarana untuk dapat saling mengenal lebih jauh satu sama lain dengan cara yang ma’ruf. Dan tidak boleh melakukan yang lebih dari itu, karena akan jatuh pada perbuatan yang dilarang agama. Bahkan untuk bertemu berdua pun sangat dilarang oleh agama karena akan menjerumuskan pada perbuatan yang haram.
Hikmah diperbolehkannya melihat dulu wanita yang ingin dipinang adalah agar jiwa merasa tenang untuk maju ke jenjang pernikahan, biasanya hal ini akan dapat melestarikan hubungan dan mempersatukan dalam ikatan cinta dan kasih sayang yang kokoh. [34]
Pembatalan khitbah di masyarakat kita memang masih dianggap tabu, hina, bahkan menyakitkan yang kadang menimbulkan gejolak kebencian diantara yang meng-khitbah dan yang di khitbah. Tak jarang malah kadang-kadang melibatkan orang-orang disekitar khitbah itu sendiri. Hal ini karena sesungguhnya khitbah belum difahami secara mendasar tentang fungsi dan tujuannya.
Pembatalan khitbah harus dilakukan sebagaimana mengawali khitbah, dilakukan dengan cara yang ma’ruf dan tidak menyalahi ketentuan syara’. Dalam membatalkan khitbah, hal yang perlu diperhatikan adalah adanya alasan-alasan syar’i yang membolehkan pembatalan tersebut terjadi, diantaranya ditemukannya kekurangan dari salah satu calon yang bersifat fatal dan sulit untuk diperbaiki, seperti memiliki penyakit yang menular dan membahayakan, tidak mau diajak berubah dari akhlak dari prilaku yang buruk dan melanggar syari’at, atau memiliki kelainan seksual, serta alasan-alasan lain yang dapat menghambat keberlangsungan rumah tangga nantinya apabila berbagai kekurangan tersebut ternyata sulit untuk diubah.
Berdasar alasan-alasan yang tidak syar’i, maka pembatalan khitbah tidak boleh dilakukan, karena hal itu hanya akan menyakiti satu sama lain dan merupakan ciri dari orang-orang yang munafik, karena telah menyalahi janji untuk menikahi pihak yang di khitbah-nya.
Dengan adanya pembatalan khitbah tidak menyebabkan apa yang telah diberikan  mutlak harus dikembalikan, karena sesungguhnya apa yang telah diberikan saat melangsungkan khitbah merupakan hadiah, maka hadiah mutlak menjadi milik penerima, tidak ada alasan untuk mengambil hadiah yang telah diberikan sekalipun atas dasar putusnya khitbah.
Dalam syari’at ajaran agama Islam pemberian apapun yang diberikan saat khitbah baik berupa pemberian cincin dan sejenisnya merupakan hadiah atas dasar kesukaan, tidak boleh diminta kembali saat khitbah dibatalkan. [35] Larangan dalam mengambil kembali hadiah yang telah diberikan telah disampaikan oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَزِيدُ يَعْنِي ابْنَ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ الْمُعَلِّمُ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِيَ عَطِيَّةً أَوْ يَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعَ فِيهَا إِلَّا الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِي وَلَدَهُ وَمَثَلُ الَّذِي يُعْطِي الْعَطِيَّةَ ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَأْكُلُ فَإِذَا شَبِعَ قَاءَ ثُمَّ عَادَ فِي قَيْئِهِ[36]

Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai' telah menceritakan kepada kami Husain Al Mu'allim dari 'Amru bin Syu'aib dari Thawus dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tidak halal bagi seorang laki-laki yang memberi suatu pemberian kemudian mengambilnya kembali, kecuali orang tua mengambil apa yang ia berikan kepada anaknya. Dan permisalan orang yang memberi suatu pemberian kemudian mengambilnya seperti anjing yang makan, maka setelah kenyang ia muntah kemudian menelan muntahannya kembali.". (HR. Abu Dawud)

Disaat pembatalan khitbah terjadi maka kedua belah pihak harus memasrahkan segala urusannya kepada Allah Swt., semata dan memohon kebaikan dari apa yang telah terjadi dan yang telah Allah persiapkan dikesempatan yang lain.

Mahar dalam istilah Arab disebut ash-shadaaq yang berasal dari kata ash-shidq. Secara etimologi mahar artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk  benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya) [37] sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.[38] Kata mahar memiliki delapan nama yang terangkum dalam bait syair, yaitu:
صَدَاقٌ وَمَهْرٌ نِحْلَةٌ وَفَرِيْضَةٌ             حِبَاءٌ وَأَجْرٌ ثُمَّ عُقْرُ عَلاَئِقَ[39]
{Shadaq[40], mahr, nihlah, faridhah, hiba’, ajr, ‘uqr, dan ‘alaiq}
Syafi’iyyah mengartiakan mahar yaitu kewajiban suami sebagai syarat untuk memperoleh manfa’at dari istri (istimta’).[41]
Hukum islam mendudukkan perempuan sebagai makhluk  terhormat dan mulia, maka diberikan hak untuk menerima mahar, bukan pihak yang sama-sama memberi mahar. [42] Mahar merupakan salah satu hak yang diwajibkan al Qur’an untuk diberikan kepada seorang wanita (yang dinikahi).[43] Allah Swt berfirman di dalam al-Qur’an:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Artinya:“Dan berikanlah maskawin atau (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang kamu kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebgian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati”. (Qs. Al-Nisa [4]:4).
Hanya wanita yang bersangkutan sajalah yang memiliki hak penuh untuk mempergunakan mahar tersebut, sebab mahar merupakan harta kepemilikan khusus baginya yang bisa dia pergunakan pada sesuatu yang menurutnya baik tanpa ada campur tangan dari siapapun.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa mahar atau maskawin itu hukumnya adalah wajib. Namun bukan termasuk dari bagian rukun perkawinan.[44] Adapun landasan yang digunakan dalam penentuan kewajiban mahar ini adalah salah satu ayat dalam Alquran surat An-Nisa’ [4]: 4. Menurut ketetapan dalil dari ijma’ itu menyatakan bahwa para ulama’ telah bersepakat bahwa mahar wajib hukumnya tanpa adanya ikhtilaf, ketetapan  itu di sepakati oleh para ulama’, baik ulama’ generasi pertama Islam hingga masa sekarang.
Para ulama’ sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya, baik kontan ataupun dengan cara tempo. Pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam akad pernikahan dan tidak dibenarkan menguranginya. Jika suami menambahnya, hal itu lebih baik  dan sebagai shodaqoh, yang dicatat sebagai mahar secara mutlak yang jenis dan jumlahnya, sesuai akad nikah.[45]
Mahar tidak ada batas besar kecilnya, terserah pada persetujuan calon suami dengan calon istri, dan suami wajib membayar sebesar yang disebutkan dalam ijab qabul, andaikata pelunasan mahar ditunda/tidak kontan.
a.    Wajib, baik tunai maupun utang
b.    Wajib membayar seperdua jika terjadi perceraian sebelum campur (bersetubuh).
c.    Wajib, jika terjadi cerai mati sebelum campur, maka istrinya berhak sepenuh jumlah mahar yang diambil dari harta peninggalan suaminya. [46]
Dewasa ini di Indonesia biasanya mahar dilaksanakan dengan memberikan sebuah Al-Qur’an atau seperangkat mukena untuk sholat. Disamping itu terkadang dibarengi juga dengan sekedar perhiasan cincin untuk istri. Menurut ketentuan Deptartemen Agama mahar dibuat sedemikian ringannya sehingga tidak menghalangi perkawinan, misalnya sebanyak Rp.25,- (dua puluh lima rupiah). Ini tidak berarti menghinakan perempuan yang akan dikawini itu malahan untuk kebaikan secara umum anggota masyarakat Islam di Indonesia.[47] Mahar juga boleh berupa uang, perabotan rumah tangga, binatang,  jasa, harta perdagangan, atau benda-benda lainnya yang mempunyai harga.[48]
Adapun syarat-syarat yang boleh dijadikan mahar adalah sebagai berikut:
1)        Harta berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap sah disebut mahar.
2)        Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan memberikan khamr, babi, bangkai, atau darah karena semua itu haram dan tidak berharga.
3)        Barang tersebut milik sendiri secara kepemilikan penuh bukan barang ghasab[49], dalam artian memiliki dzatnya termasuk manfaatnya, jika hanya salah satu saja , maka mahar tersebut tidak sah.
4)        Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaanya, atau tidak disebutkan jenisnya.
Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Namun dalam hal ini disunahkan membayar kontan sebagian, berdasarkan sabda Nabi Saw:
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ عَلِيًّا قَالَ تَزَوَّجْتُ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنِ بِي قَالَ أَعْطِهَا شَيْئًا قُلْتُ مَا عِنْدِي مِنْ شَيْءٍ قَالَ فَأَيْنَ دِرْعُكَ الْحُطَمِيَّةُ قُلْتُ هِيَ عِنْدِي قَالَ فَأَعْطِهَا إِيَّاهُ
"Telah mengabarkan kepada kami 'Amr bin Manshur, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Abdul Malik, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Hammad dari Ayyub dari 'Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa Ali berkata; Dahulu saat saya akan menikahi Fathimah radliallahu 'anha, saya berkata; wahai Rasulullah, tolong Fatimah serumahtanggakan denganku, beliau bersabda: "Baik, Berilah ia sesuatu", saya berkata; saya tidak memiliki sesuatu, beliau bersabda: "Dimanakah baju zirahmu yang anti pedang itu?, " saya menjawab ia ada padaku, beliau bersabda: "Berikan padanya."  (HR. An Nasa’i)
Dalam hal penundaan pembayaran mahar (diutang), terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih. Perbedaan pendapat tersebut karena pernikahan itu dapat disamakan dengan jual beli dalam hal penundaan, atau tidak dapat disamakan dengannya.[50]

Meski dalam Islam tidak disebutkan batas minimal mahar, namun syari’at Islam menekankan dan memerintahkan agar kaum wanita  memberi kemudahan dalam persoalan mahar. Rasulullah Saw bersabda:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ الطُّفَيْلِ بْنِ سَخْبَرَةَ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَعْظَمَ النِّكَاحِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُ مُؤْنَةً
“Telah menceritakan kepada kami Affan berkata; telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah berkata; telah mengabarkan kepadaku Ibnu Thufail bin Sakhirah, dari Al-Qasim bin Muhammad, dari Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. bersabda: "Sesungguhnya pernikahan yang paling barakah adalah yang paling ringan maharnya." (HR. Ahmad).

Mahar tidak harus berbentuk emas, perak, uang atau permata yang mahal harganya, tapi boleh juga berbentuk barang seperti seperangkat alat sholat, cincin, atau Al-Qur’an dengan syarat maskawin dari pihak suami dan jumlahnya tergantung kemampuan calon suami dan atas persetujuan pengantin wanita.[51] Mukhtar Kamal menyebutkan, “Janganlah hendaknya ketidak sanggupan membayar maskawin karena besar jumlahnya menjadi penghalang  bagi berlangsungnya suatu perkawinan”.[52] Sesuai dengan sabda Nabi Saw:
حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي حَازِمِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ وَهَبْتُ نَفْسِي لَكَ فَقَامَتْ قِيَامًا طَوِيلًا فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ زَوِّجْنِيهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا إِيَّاهُ فَقَالَ مَا عِنْدِي إِلَّا إِزَارِي هَذَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ إِنْ أَعْطَيْتَهَا إِزَارَكَ جَلَسْتَ وَلَا إِزَارَ لَكَ فَالْتَمِسْ شَيْئًا قَالَ لَا أَجِدُ شَيْئًا قَالَ فَالْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ فَالْتَمَسَ فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلْ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ شَيْءٌ قَالَ نَعَمْ سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا لِسُوَرٍ سَمَّاهَا فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
"Telah menceritakan kepada kami Al Qa'nabi dari Malik dari Abu Hazim bin Dinar dari Sahl bin Sa'd As Sa'idi bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam didatangi oleh seorang wanita seraya berkata; wahai Rasulullah, aku menghibahkan diriku kepadamu. Kemudian wanita tersebut berdiri lama, lalu terdapat seorang laki-laki yang berdiri dan berkata; wahai Rasulullah, nikahkan aku dengannya apabila engkau tidak butuh kepadanya. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Apakah kamu memiliki sesuatu yang dapat kamu berikan kepadanya sebagai mahar?" Orang tersebut berkata; aku tidak memiliki sesuatu kecuali sarungku ini. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila kamu memberikan sarungmu, maka kamu akan telanjang dan kamu tidak memiliki sarung, carilah sesuatu!" Orang tersebut berkata; aku tidak mendapatkan sesuatu. Beliau berkata: "Carilah (yang lain) walaupun hanya sebuah cincin besi!" Kemudian orang tersebut mencari dan tidak mendapatkan sesuatu pun. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya: "Apakah engkau hafal sebagian dari Al Qur'an?" Orang tersebut berkata; ya, surat ini dan surat ini. Ia menyebutkan surat yang telah ia hafal. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya: "Aku telah menikahkanmu dengan apa yang engkau miliki (hafal) dari Al Qur'an."   (HR. Abu Dawud)

Dalam kasus ini surat atau bagian dari al-Qur’an yang dihafal oleh laki-laki tersebut dapat dianggap sebagai maharnya. Namun hadis tersebut harus dipahami seutuhnya. Hadis tidaklah meniadakan mahar minimum, artinya tidak harus mahar yang kecil dan harus yang besar, akan tetapi tergantung kesanggupan pihak pengantin laki-laki atau persetujuan kedua belah pihak. Dengan demikian riwayat tentang mahar cincin besi bukan berarti perintah untuk memberikan mahar serupa kepada istri. Namun, sahabat tersebut tergolong orang yang kurang mampu,tetapi meskipun demikian, Rasulallah mengharuskan calon suami walau hanya sebatas kemampuan.
Mengenai besar mahar, para fuqoha sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batas tertinggi, namun mereka berselisih pendapat tentang batas rendahnya. Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqoha Madinah dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar.
Sebagian fuqoha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas rendahnya. Mereka mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni , atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas perak tersebut. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham.[53]

a.         Mahar Mitsil, adalah mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dan tetangga sekitarnya, dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya. [54] Akad nikah tetap sah jika dilakukan tanpa menyebut jumlah mahar, sebab mahar bukan merupakan syarat atau rukun nikah.
b.         Mahar Musamma,adalah mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.

BAB III

PENUTUP

Sedikit kesimpulan dari kami bahwa :
·         Peminangan adalah proses pernyataan ingin membina rumah tangga antara dua orang, lelaki dan perempuan, yang dilakukan sebelum pernikahan. Baik melalui wali ataupun secara langsung.
·         Tidak ada dasar yang jelas dan spesifik tentang suruhan peminangan. Oleh karena itu kebanyakan dari ulama menyatakan hukumnya mubah, walaupun diantara mereka ada yang mewajibkannya dengan mengatakan bahwa pinangan adalah tradisi Nabi.
·         Hikmah dari pinangan adalah wadah perkenalan dan penguat ikatan dalam memulai kehidupan baru dengan menikah.
·         Peminangan ada dua macam, secara langsung maupun tidak langsung. Pembagian ini tergantung keadaan orang yang dipinang.
mahar adalah maskawin, yaitu suatu pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan disebabkan terjadinya pernikahan. Pemberian mahar ini hukumnya wajib bagi laki-laki.
Oleh karena itu,meminang dan mahar adalah sangat berkaitan erat bila mana seseorang yang sudah memenuhi syarat untuk menikah maka sepatutnya dia melihat pinangannya dan menyiapkan maharnya (mengadakan kesepakatan). Demikian makalah yang dapat kami persembahkan ambillah sedikit ilmu dari makalah ini dan amalkanlah ilmu itu sebanyak mungkin.

Demikinlah makalah yang dapat penulis susun, penulis sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang membangun sangat  kami harapkan demi membangun perbaikan dan pengembangan. Dan semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan kita dan semoga bermanfaat Aamiin. 

DAFTAR PUSTAKA

Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Ed. 1.
M. Abdul Mujieb, Mabruri Thalhah, Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995), Cet. 2
Zurinal. Z dan Amnudin,  fiqih ibadah, jakarta: Lembaga penelitian universitas islam Syarif Hidayatullah, 2008
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974
Nurjannah, Mahar Pernikahan, Yogyakarta: Prima Shopi, 2003
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzab, Jakarta: Penerbit Lentera, 2007
Muhammad Zuhaily, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Pernikahan dalam Perspektif Madzhab Syafi’i, terj. Mohammad Kholison, Surabaya: CV. Imtiyaz, 2013
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, Bandung: CV. PUSTAKA SETIA, 2001
Abdul al Qadir Manshur, Fiqh al Mar’ah al Muslimah min al Kitab wa al Sunnah, diterjemahkan oleh Muhammad Zaenal Arifin, Buku Pinta Fikih Wanita; segala hal yang ingin anda ketahui tentang perempuan dalam hukum Islam, Jakarta: Zaman, 2012
Abdurrahman Al-Jaziri,  Al-Fiqh ‘Ala Al-Madhab Al-Arba’ah, (Beirut : Dar Al-Fikr,tth), Cet. IV
Sayyid Ahmad Al-musayyar, Islam Bicara Soal Seks, Percintaan dan Rumah Tangga, (Kairo Mesir: Erlangga, 2008
Muhammad Utsman Al Khasyt, Fiqh Al Nisa fi Dou’il Mazahib Al Arba’ah wa al Ijtihadati al Fiqhiyyah al Ma’ashiroh, Terj. oleh Abu Nafis Ibnu Abdurrohim, Fikih Wanita Empat Mazhab; Mengupas tuntas berbagai permasalahan seputar hukum fikih setiap muslimah dalam kehidupan sehari-hari, (Bandung: Ahsan Publishing, 2010), Cet. 1,
Abi Dawud Sulaiman bin al Asy’as As Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Bait al Ifkar Ad Dauliyyah, 202-275 H
M. Abdul Mujieb, Mabruri Thalhah, Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995), Cet. 2
Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Ed. 1
Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam Syarh Bulugl Maram, (Jakarta: Darus Sunnah, 2015), Jilid 2
M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Shahih Muslim; al-Musnad al-Shahih Salasumi’atin alfa Haditsin Matmu’atin, (Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1991
Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Sawroh At-Turmudzi, Al-Ma’ruf bi Jami’ At-Turmudzi, (Bait al-Afkar Ad-Dawliyyah
M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1
Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, terjemahan Nor Hasabuddin, Fikih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), Juz.2
Sirajuddin, Khitbah; lamaran, diakses dari http://ssarifin.blogspot.com/2015/12/khitbah-lamaran.html, pada tanggal 02 November 2018, pukul 22:44.
Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Sawroh At-Turmudzi, Al-Ma’ruf bi Jami’ At-Turmudzi, (Bait al-Afkar Ad-Dawliyyah
Hidayatullah qorib, skripsi pergaulan laki-laki dan perempuan selama masa bhekalan, (malang: 2010
Muhammad Thalib, 15 Tuntunan Meminang Dalam Islam, (Bandung: Irsyad Baitussalam, 2002
Syamsuddin Ramadhan, Fikih Rumah Tangga Pedoman Membangun Keluarga Bahagia, (Bogor: Ide Pustaka, 2004
Abu Abdillah Abdu al-Salam bin Muhammad bin Umar ‘Alawiy, al-Jami’ al-Shahih al-Musnad min Hadtsi Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi, (Riyadh: Maktabatu Rusyd, 2006
Al Imam Abi Al Husein Muslim ibn Al Hajjaj Al Qusyairi An Naisaburi, Shahih Muslim, Kitab: Jual beli, Bab :Larangan seseorang melakuan transaksi jual beli atas transaksi orang lain, (Beirut: Dar al Kutub al Alamiyah
Liduwa, Muslim, Kitab : Jual beli, Bab :Larangan seseorang melakuan transaksi jual beli atas transaksi orang lain, No. Hadist : 2787
Mahmud Al Mashri, Al Zawaj Al Islam Al Sa’id, diterjemahkan oleh Iman Fidaus, Bekal Pernikahan, (Jakarta: Qisthi Press, 2011



[1] Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Ed. 1,h. 24.
[2] M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 10
[3] Mahmud Al Mashri, Al Zawaj Al Islam Al Said, diterjemahkan oleh Iman Fidaus, Bekal Pernikahan, (Jakarta: Qisthi Press, 2011), h. 289.
[4] Nama lengkapnya ialah Yunus bin Muhammad bin Muslim, kalangan tabi'ut tabi'in kalangan biasa, kuniyahnya Abu Muhammad, Negeri semasa hidup yaitu Baghdad, Wafat pada tahun 207 H. Komentar para ulama, 1). Yahya bin Ma'in: Tsiqah, 2). Abu Hatim: Shaduuq, 3). Ibnu Hibban: disebutkan dalam 'ats tsiqaat.         
[5] Nama lengkapnya Abdul Wahid bin Ziyad, kalangan tabi'ut tabi'in kalangan pertengahan, kuniyahnya Abu Bisyir, negeri semasa hidup Bashrah, wafat pada tahun 176 H. Komentar para ulama, 1). Abu Hatim: tsiqah, 2). An Nasa'i: laisa bihi ba`s, 3). Ad Daruquthni: tsiqah ma`mun, 4). Abu Daud: Tsiqah.
[6] Nama lengkapnya Muhammad bin Ishaq bin Yasar, kalangan : tabi'in kalangan biasa, kuniyahnya ialah Abu Bakar, negeri semasa hidup Madinah, wafat pada tahun 150 H. Komentar para ulama, 1). Ahmad bin Hambal: Hasanul Hadits, 2). Ibnu Madini: shalih Wasath, 3). Ibnu Hajar al 'Asqalani: shaduuq Yudallis.
[7] Nama lengkapnya Daud bin Al Hushain, kalangan tabi'in (tdk jumpa Shahabat), kuniyahnya Abu Sulaiman, negeri semasa hidup Madinah, wafat pada tahun 135 H. Komentar para ulama, 1). Yahya bin Ma'in: Tsiqah, 2). Abu Zur'ah: layyin, 3). Abu Hatim: laisa bi qowi, 4). An Nasa'i: Laisa bihi ba's.
[8] Nama lengkapnya Waqid bin 'Abdur Rahman bin Sa'ad, kalangan tabi'ut tabi'in kalangan tua. Komentar para ulama, 1). Ibnu Hibban: disebutkan dalam 'ats tsiqaat, 2). Ibnu Hajar al 'Asqalani: majhul, 3). Adz Dzahabi: Tsiqah.
[9] Nama lengkapnya Jabir bin 'Abdullah bin 'Amru bin Haram, kalangan Shahabat, kuniyahnya Abu 'Abdullah, negeri semasa hidup Madinah, wafat pada tahun 78 H.
[10] M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 12-13.
[11] M. Abdul Mujieb, Mabruri Thalhah, Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995), Cet. 2, h. 162.
[12]Al Imam Abi Al Husein Muslim ibn Al Hajjaj Al Qusyairi An Naisaburi, Shahih Muslim, Kitab: Jual beli, Bab :Larangan seseorang melakuan transaksi jual beli atas transaksi orang lain, (Beirut: Dar al Kutub al Alamiyah), h. 1154.
[13] Liduwa, Muslim, Kitab : Jual beli, Bab :Larangan seseorang melakuan transaksi jual beli atas transaksi orang lain, No. Hadist : 2787
[14] M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 15-16. Lihat juga Imam An Nawawi, Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Daar al Fikr, 1984), Juz. 3, h. 569.
[15] Yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya yang telah dicampurinya dan masih dalam masa idah sebagai talak satu atau talak dua, maka suami boleh rujuk kepada istrinya tanpa akad nikah yang baru, tanpa persaksian, dan tanpa mahar baru pula. Lihat Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Ed. 1, h. 243-244.
[16] Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Ed. 1, h. 30.
[17] Yaitu talak yang memisahkan sama sekali hubungan suami istri atau disebut talak tiga. Ada dua macam talak ba’in: 1). talak ba’in shugra yaitu talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas suaminya, tetapi tidakmenghilangkan hak nikah baru kepada istri bekas istrinya itu. 2). Talak ba’in kubra yaitu talak yang mengakibatkan hilangnya hak rujuk kepada bekasistri, walaupun kedua bekas suami istri itu ingin melakukannya,baik diwaktu idah atau sesudahnya.
[18] Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Ed. 1, h. 24-25.
[19] M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 16-17.
[20] M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 17.
[21] Abu Abdillah Abdu al-Salam bin Muhammad bin Umar ‘Alawiy, al-Jami’ al-Shahih al-Musnad min Hadtsi Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi, (Riyadh: Maktabatu Rusyd, 2006),  h. 734.
[22] Muhammad Thalib, 15 Tuntunan Meminang Dalam Islam, (Bandung: Irsyad Baitussalam, 2002), h. 25.
[23] Syamsuddin Ramadhan, Fikih Rumah Tangga Pedoman Membangun Keluarga Bahagia, (Bogor: Ide Pustaka, 2004), h. 56.
[24] Abu Abdillah Abdu al-Salam bin Muhammad bin Umar ‘Alawiy, al-Jami’ al-Shahih al-Musnad min Hadtsi Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi, (Riyadh: Maktabatu Rusyd, 2006),  h. 734.
[25] M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 10. Lihat juga Syamsuddin Ramadhan, Fikih Rumah Tangga Pedoman Membangun Keluarga Bahagia, (Bogor: Ide Pustaka, 2004), h. 49.
[26] Hidayatullah qorib, skripsi pergaulan laki-laki dan perempuan selama masa bhekalan, (malang: 2010), h. 43.
[27] Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Sawroh At-Turmudzi, Al-Ma’ruf bi Jami’ At-Turmudzi, (Bait al-Afkar Ad-Dawliyyah), h. 193.
[28] M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 19-20. Lihat pula, Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, terjemahan Nor Hasabuddin, Fikih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), Juz.2, h. 508.
[29] Sirajuddin, Khitbah; lamaran, diakses dari http://ssarifin.blogspot.com/2015/12/khitbah-lamaran.html, pada tanggal 02 November 2018, pukul 22:44.
[30] Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Sawroh At-Turmudzi, Al-Ma’ruf bi Jami’ At-Turmudzi, (Bait al-Afkar Ad-Dawliyyah), h. 192 .
[31]Abu Isa berkata; "Ini merupakan hadits gharib. Abu Hatim Al Muzani adalah seorang sahabat, namun tidak kami ketahui dia meriwayatkan hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam selain hadits ini."
[32] M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 21.
[33] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Shahih Muslim; al-Musnad al-Shahih Salasumi’atin alfa Haditsin Matmu’atin, (Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1991), h. 1037.
[34] M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 22.
[35] M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 24-27.
[36] Abi Dawud Sulaiman bin al Asy’as As Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Bait al Ifkar Ad Dauliyyah, 202-275 H), h. 393.
[37] M. Abdul Mujieb, Mabruri Thalhah, Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995), Cet. 2, h. 184.
[38] Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Ed. 1,h. 36.
[39] Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam Syarh Bulugl Maram, (Jakarta: Darus Sunnah, 2015), Jilid 2, h. 706-707.
[40] Al Shadaq adalah turunan dari kata al Shidq yang artinya jujur dan ikhlas. Disebut al shadaq karena mahar adalah simbol kejujuran dalam menjatuhkan pilihan kepada perempuan yang dinikahi dan simbol keikhlasan dalam membangun mahligai rumah tangga bersamanya. Al Mahr yaitu sesuatu yang diberikan suami kepada istrinya ketika melangsungkan akad pernikahan. Al Nihlah berarti hadiah yang diberikan tanpa mengharapkan imbalan. Al Faridhah adalah turunan dari kata faradha yang berarti menetapkan, mewajibkan, dan menentukan. Bahwa mahar adalah hak yang wajib ditunaikan oleh suami kepada istri. Al Hiba’ segala sesuatu yang digunakan oleh seseorang untuk memuliakan sahabatnya. al Hiba’ dalam arti mahar adalah jalan yang ditempuh seorang laki-laki untuk bisa menemui dan memuliakan teman hidupnya  yaitu istrinya. Al Ujr berarti upah atas suatu pekerjaan, ganti rugi atas pengambilan manfaat tertentu atau akan memberikan imbalan karena telah mengambil manfaat dari suatu barang. Di dalam al Qur’an kata al Ujr disebutkan dalam surat An Nisa [4] ayat 24. Al ‘Uqr berarti inti dari segala sesuatu. Kata ini digunakan untuk mengungkapkan seberapa besar kemuliaan seorang perempuan. Al Alaiq adalah segala sesuatu yang elok dan menawan, yang puncaknya adalah cinta tulus yang mengendap dalam lubuk hati yang terdalam. Lihat Abdul al Qadir Manshur, Fiqh al Mar’ah al Muslimah min al Kitab wa al Sunnah, diterjemahkan oleh Muhammad Zaenal Arifin, Buku Pinta Fikih Wanita; segala hal yang ingin anda ketahui tentang perempuan dalam hukum Islam, (Jakarta: Zaman, 2012), Cet. 1, h. 237-239.
[41] Abdurrahman Al-Jaziri,  Al-Fiqh ‘Ala Al-Madhab Al-Arba’ah, (Beirut : Dar Al-Fikr,tth), Cet. IV, h. 94
[42] Sayyid Ahmad Al-musayyar, Islam Bicara Soal Seks, Percintaan dan Rumah Tangga, (Kairo Mesir: Erlangga, 2008), h. 12.
[43] Muhammad Utsman Al Khasyt, Fiqh Al Nisa fi Dou’il Mazahib Al Arba’ah wa al Ijtihadati al Fiqhiyyah al Ma’ashiroh, Terj. oleh Abu Nafis Ibnu Abdurrohim, Fikih Wanita Empat Mazhab; Mengupas tuntas berbagai permasalahan seputar hukum fikih setiap muslimah dalam kehidupan sehari-hari, (Bandung: Ahsan Publishing, 2010), Cet. 1, h. 277.
[44]Muhammad Zuhaily, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Pernikahan dalam Perspektif Madzhab Syafi’i, terj. Mohammad Kholison (Surabaya: CV. Imtiyaz, 2013), 235.
[45]Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV. PUSTAKA SETIA, 2001) ,265-266.
[46] M. Abdul Mujieb, Mabruri Thalhah, Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995), Cet. 2, h. 184-185.
[47] Nurjannah, Mahar Pernikahan, (Yogyakarta: Prima Shopi, 2003), 33
[48] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzab, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2007), 365.
[49] Ghasab artinya mengambil barang orang lain tanpa seizinnya namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Lihat Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Ed. 1,h. 40.
[50] Fuqoha yang mengatakan bahwa disamakan dengan jual beli berpendapat bahwa penundaan itu tidak boleh sampai terjadinya kematian atau perceraian. Sedangkan yang mengatakan tidak dapat disamakan dengan jual beli berpendapat bahwa penundaan membayar mahar itu tidak boleh dengan alasan bahwa pernikahan itu merupakan ibadah. Lihat Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Ed. 1,h. 45.
[51] Zurinal. Z dan Amnudin, fiqih ibadah, (jakarta: Lembaga penelitian universitas islam Syarif Hidayatullah, 2008), h. 218-219
[52] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 81.
[53] Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Ed. 1,h. 42.
[54] M. Abdul Mujieb, Mabruri Thalhah, Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995), Cet. 2, h. 185.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar